Selasa, 22 Oktober 2013

Asas-Asas Hukum Acara Pidana

Suatu hukum pastilah ada asas yang digunakan sebagai landasan berpijaknya dalam operasional pelaksanaannya, begitu pula hukum acara pidana. Untuk melaksanakan hukum acara pidana, ada beberapa asas-asas penting yang perlu diketahui. Menurut Andi Hamzah ada beberapa asas penting yang terdapat dalam hukum acara pidana yaitu:
“Asas-asas penting dalam hukum acara pidana adalah:
1.      Peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan;
2.      Praduga tak bersalah (Presumption of innocence);
3.      Oportunitas;
4.      Pemeriksaan pengadilan terbuka untuk umum;
5.      Semua orang diperlakukan sama didepan hakim;
6.      Peradilan dilakukan oleh hakim karena jabatannya dan tetap;
7.      Tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum;
8.      Akusator dan inkusitor (Accusatoir dan Inqusitoir);
9.      Pemeriksaan Hakim yang langsung dan lisan[1].”

Penjelasan asas-asas tersebut diatas adalah sebagai berikut:
a)      Asas Peradilan Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan
Bahwa peradilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak harus diterapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan. Berdasarkan penjelasan umum KUHAP Butir 3 Huruf e ditegaskan sebagai berikut:
Peradilan harus dilaksanakan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas jujur, dan tidak memihak harus diterapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan.

Berdasarkan ketentuan tersebut juga ditegaskan dalam ketentuan Pasal 59 ayat (1), (2), dan (3) KUHAP yang pada intinya bahwa tersangka dan terdakwa berhak:
-          Segera mendapatkan pemeriksaan oleh penyidik;
-          Segera diajukan kepada penuntut umum oleh penyidik;
-          Berhak perkaranya diajukan ke pengadilan oleh penuntut umum; dan
-          Berhak segera diadili oleh pengadilan.

KUHAP menunjukkan sistem peradilan cepat, dengan banyak menggunakan istilah “segera”. Menurut Andi Hamzah[2] bahwa istilah “satu kali dua puluh empat jam” lebih pasti dari pada istilah “segera”. Demikianlah sehingga ketentuan yang sangat bagus ini perlu diwujudkan dalam praktek penegak hukum. Ia mengharapkan sebaiknya dalam pembuatan peraturan perundang-undangan yang akan dihindari istilah “segera”, dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dan semacamnya dan diganti dengan “satu kali dua puluh empat jam”, “tiga kali dua puluh empat jam”, “dua bulan”, dan seterusnya.
Mengenai pelimpahan berkas dari Pengadilan Negeri ke Pengadilan Tinggi sebagai pengadilan tingkat banding juga diatur sedemikian rupa, agar tercapai pengadilan yang bersifat tepat.
Pasal 110 KUHAP mengatur tentang hubungan penuntut umum dan penyidik dengan kata “segera”.
Pasal 140 ayat (1) KUHAP yang berbunyi:
Dalam Hal penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, ia dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan.

Berdasarkan pasal tersebut yang juga terdapat kata secepatnya, yang berarti penegak hukum dalam melakukan pemeriksaan tidak boleh ditunda-tunda dalam penyelesaian dan harus sesuai dengan tanggung jawab.
Tentang asas sederhana dan biaya ringan dapat dijabarkan dalam KUHAP seperti yang diatur dalam:
-          Penggabungan pemeriksaan perkara pidana dengan tuntutan ganti rugi yang bersifat perdata oleh seorang korban yang mengalami kerugian sebagai akibat langsung dari tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa (Pasal 98);
-          Banding tidak dapat diminta terhadap putusan acara cepat;
-          Pembatasan penahanan dengan memberi sanksi dapat dituntut ganti rugi pada sidang praperadilan, tidak kurang artinya sebagai pelaksanaan prinsip mempercepat dan menyederhanakan poses penahanan;
-          Demikian juga peletakan asas diferensiasi fungional, nyata-nyata memberi kesederhanaan penanganan fungsi dan wewenang penyidikan, agar tidak terjadi penyidikan bolak-balik, timpang tindih dan saling bertentangan.

Proses perkara pidana dengan biaya ringan diartikan menghindarkan sistem administrasi perkara dan mekanisme bekerjanya para petugas yang mengakibatkan beban biaya bagi yang berkepentingan atau masyarakat (social cost) yang tidak sebanding, karena biaya yang dikeluarkan lebih besar dari hasil yang diharapkan lebih kecil.
Menurut Andi Hamzah[3], peradilan cepat (terutama untuk menghindari penahanan yang lama sebelum ada keputusan hakim) merupakan bagian dari hak asasi manusia. Begitu pula peradilan yang bebas, jujur, dan tidak memihak yang ditonjolkan dalam undang-undang tersebut.
b)     Asas Praduga Tak Bersalah
Asas yang dikenal dengan sebutan presumption of innocence ini yaitu setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan dimuka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Menurut Andi Hamzah[4], ketentuan ini juga mengandung arti praduga tak bersalah yang mewajibkan setiap tindakan penangkapan, penahanan, dan sebagainya harus benar-benar dilakukan berdasarkan alasan-alasan menurut undang-undang dan memberikan sanksi bagi pejabat yang sengaja melanggar ketentuan yang termaksud.
c)      Asas Oportunitas
Asas ini merupakan wewenang dari Kejaksaan Agung sesuai dengan ketentuan Pasal 35 huruf (c) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 yang berbunyi:
Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang mengesampingkan suatu perkara demi kepentingan umum.

A.Z. Abidin seperti yang dikutip oleh Andi Hamzah memberi suatu rumusan tentang asas oportunitas bahwa:
“Asas oportunitas yaitu asas hukum yang memberikan wewenangnya kepada Penuntut Umum untuk menuntut atau tidak menuntut dengan atau tanpa syarat seseorang atau korporasi yang telah mewujudkan delik demi kepentingan umum[5].”

Pada praktiknya jarang sekali asas ini diterapkan dan dalam keadaan hukum yang harus memberikan kepercayaan masyarakat akan penegakan hukum, sehingga tidak terjadi penilaian yang buruk terhadap citra kejaksaan sebagai penuntut umum.
d)     Pemeriksaan Pengadilan Terbuka untuk Umum
Pada dasarnya setiap persidangan adalah terbuka untuk umum kecuali persidangan mengenai perkara kesusilaan atau terdakwanya anak-anak. Hal ini sesuai dengan apa yang diatur dalam Pasal 153 ayat (3) KUHAP yang berbunyi:
Untuk keperluan pemeriksaan, hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak.

Apabila hakim tidak membuka sidang tersebut untuk umum maka hakim melanggar ketentuan ketentuan dan mengakibatkan putusan hakim pengadilan menjadi “batal demi hukum.”
Terhadap ketentuan ini ada kecualinya mengenai perkara yang menyangkut kesusilaan dan terdakwanya terdiri dari anak-anak, dalam hal ini persidangan dapat dilakukan dengan tertutup.
Menurut Yahya Harahap[6] disebut sebagai asas demokrasi oleh karena dari pasal-pasal KUHAP mendukung asas ini, memberi makna yang mengarahkan tindakan penegakan hukum di sistem Indonesia harus dilandasi jiwa “persamaan” dan “keterbukaan” serta musyawarah dan mufakat dari majelis peradilan dalam mengambil keputusan.
e)      Semua Orang Diperlakukan Sama Didepan Hakim
Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) KUHAP dirumuskan suatu ketentuan sebagai berikut:
Perlakuan yang sama atas diri setiap orang dimuka hukum dengan tidak mengadakan perbedaan perlakuan.

Selanjutnya dalam Penjelasan Umum Butir 3a KUHAP berbunyi:
Perlakuan yang sama atas diri setiap orang dimuka hukum dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan.

Jadi sesuai dengan ketentuan pasal tersebut di atas telah ditegaskan bahwa peradilan memberikan perlakuan yang sama kepada setiap orang di dalam pemeriksaan hakim tanpa adanya pembedaan.
f)       Peradilan Dilakukan oleh Hakim Karena Jabatannya dan Tetap
Ini berarti pengambilan keputusan salah tidaknya terdakwa dilakukan oleh hakim karena jabatannya dan bersifat tetap. Untuk jabatannya hakim-hakim ini diangkat oleh Kepala Negara.
g)      Tersangka atau Terdakwa Berhak Mendapat Bantuan Hukum
Asas ini memberikan harkat dan martabat kepada tersangka atau terdakwa bahwa mereka sederajat dengan manusia lainnya. Bantuan hukum dapat diperoleh oleh tersangka sejak awal dengan mengacu berdasarkan Pasal 69 sampai dengan 74 KUHAP. Berdasarkan pasal tersebut, dirumuskan bahwa tersangka atau terdakwa mendapatkan:
1.      Bantuan hukum dapat diberikan sejak tersangka ditangkap atau ditahan (Pasal 69);
2.      Bantuan hukum diberikan pada semua tingkat pemeriksaan (Pasal 69);
3.      Penasehat hukum dapat menghubungi tersangka atau terdakwa pada semua tingkat pemeriksaan pada setiap waktu (Pasal 70 ayat (1));
4.      Pembicaraan antara penasehat hukum saat menghubungi tersangka tidak didengar oleh penyisik dan penuntut umum kecuali pada delik yang menyangkut keamanan negara (Pasal 71 ayat (1) dan ayat (2));
5.      Turunan berita acara diberikan kepada tersangka atau penuntut umum guna kepentingan pembelaan (Pasal 72);
6.      Penasehat hukum berhak mengirim dan menerima surat dari tersangka atau terdakwa (Pasal 73);

Pengecualian dari pasal tersebut diatas terdapat pada ketentuan Pasal 56 ayat (1) KUHAP merupakan kewajiban dari aparat penegak hukum menegaskan bahwa:
Dalam hal tersangka atau terdakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana 15 tahun penjara atau lebih yang tidak mempunyai penasehat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasehat hukum bagi mereka.

Menurut Andi Hamzah[7] pembatasan-pembatasan hanya dikenakan jika penasehat hukum menyalahgunakan hak-haknya tersebut. Kebebasan-kebebasan dan kelonggaran-kelonggaran tersebut hanya dari segi yuridis semata-mata bukan dari segi politik, sosial dan ekonomi.
h)     Akusator dan Inkusitor (Accusatoir dan Inqusitoir)
Kebebasan memberi dan mendapatkan nasihat hukum menunjukkan bahwa KUHAP telah menganut asas akusator. Ini artinya perbedaan antara pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan sidang pengadilan pada asasnya telah dihilangkan.
Prinsip akusator menempatkan kedudukan tersangka atau terdakwa dalam setiap pemeriksaan sebagai berikut:
1.      Adalah sebagai subyek, bukan obyek pemeriksaan, karena itu kedudukan tersangka atau terdakwa harus didudukkan dalam kedudukan yang mempunyai harkat dan martabat;
2.      Yang menjadi obyek dalam prinsip akusator adalah kesalahan (tindak pidana) yang dilakukan oleh tersangka atau terdakwa.

Menurut Andi Hamzah[8], prisnsip inkusitor adalah menempatkan tersangka atau terdakwa sebagai obyek yang dapat diperlakukan dengan sewenang-wenang.
i)        Pemeriksaan Hakim yang Langsung dan Lisan
Pemeriksaan di tingkat pengadilan oleh hakim secara langsung, artinya langsung kepada terdakwa dan para saksi. Ini berbeda dengan acara perdata dimana tergugat dapat diwakili oleh kuasanya.
Menurut Andi Hamzah[9] hal ini berkaitan dengan tujuan hukum acara pidana yaitu mencari kebenaran materiil, dimana hakim melakukan pemeriksaan di tingkat pengadilan haruslah secara langsung. Pemeriksaan hakim juga dilakukan secara lisan, artinya bukan tertulis antara hakim dan terdakwa.



[1] Ibid, 23
[2] Andi Hamzah, Op. Cit, 19
[3] Ibid, 11
[4] Djoko Prakoso, Peranan Psikologi Dalam Pemeriksaan Tersangka Pada Tahap Penyidikan (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986) , 86
[5] Ibid, 14
[6]M. Yahya Harahap, Op. Cit, 56
[7] Andi Hamzah, Op. Cit, 21
[8] Ibid, 22
[9]Ibid