Frans Hendra Winarta menyatakan bahwa, “bantuan
hukum merupakan jasa hukum yang khusus diberikan kepada fakir miskin yang
memerlukan pembelaan secara cuma-cuma, baik di luar maupun di dalam pengadilan,
secara pidana, perdata dan tata usaha negara, dari seseorang yang mengerti
seluk beluk pembelaan hukum, asas-asas dan kaidah hukum, serta hak asasi manusia.”[1]
Pengertian yang
diberikan oleh Frans Hendra Winarta, ternyata sejalan dengan undang-undang
nomor 16 tahun 2011 tentang bantuan hukum. Dalam undang-undang tersebut
dikatakan bahwa, Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Pemberi
Bantuan Hukum secara cuma-cuma kepada Penerima Bantuan Hukum.[2]
Penerima Bantuan Hukum adalah orang atau kelompok orang miskin.[3]
Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi masalah hukum
keperdataan, pidana, dan tata usaha negara baik litigasi maupun nonlitigasi.[4]
Berdasarkan hal
tersebut, disimpulkan bahwa pengertian bantuan hukum dapat dilakukan di dalam
atau pun di luar pengailan, dan bantuan hukum juga ditujukan bagi mereka yang
tidak mampu.
Frans Hendra
Winarta menjelaskan bahwa dalam bantuan hukum terdapat beberapa unsur, yaitu:
1.
Penerima bantuan hukum adalah fakir miskin atau orang yang
tidak mampu secara ekonomi;
2.
Bantuan hukum diberikan baik di dalam atau pun di luar proses
persidangan;
3.
Bantuan hukum diberikan baik dalam lingkup peradilan pidana,
perdata, maupun tata usaha negara;
4.
Bantuan hukum diberikan secara cuma-cuma.[5]
Mochtar
Kusumaatmadja menjelaskan tentang bantuan hukum bagi orang yang tidak mampu
tersebut adalah sebagai berikut:
Pemberian
bantuan hukum bagi orang-orang yang tidak mampu dimaksudkan sebagai suatu cara
untuk memperbaiki ketidakseimbangan sosial. Seseorang yang mengajukan
permohonan untuk mendapatkan bantuan hukum, harus menunjukkan bukti-bukti
tentang kemiskinannya, misalkan dengan memperlihatkan suatu pernyataan dari
Lurah yang disahkan Camat, mengenai penghasilannya yang rendah atau orang
tersebut sama sekali tak berpenghasilan dan keterangan-keterangan lain yang
berhubungan dengan kemiskinan.
Untuk
menjelaskan suatu definisi terhadap suatu arti dari ketidakmampuan adalah sukar
sekali. Meskipun cara-cara untuk menyelidiki ketidakmampuan ini tampaknya
mudah, tetapi pembuktiannya adalah sangat sulit, tetapi dalam keadaan tertentu
seperti lembaga bantuan hukum yang didirikan berdasarkan undang-undang dan
dibiayai oleh masyarakat, misalnya di Singapura, dengan jelas dapat ditentukan
persyaratan yang didasarkan pada pengertian batas maksimum penghasilan yang
dapat disisihkan (diposable income), sehingga dengan mudah dapat menetapkan
batasan-batasan ketidakmampuan dengan ukuran ekonomis.[6]
[1] Frans Hendra Winarta, 2000, Bantuan Hukum Suatu Hak Asasi Manusia Bukan
Belas Kasihan, Elex Media Komputindo, Jakarta, hlm. 23
[2] Lihat Pasal 1 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum.
[3] Lihat Pasal 1 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum.
[4] Lihat Pasal 4 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum.
[5] Frans Hendra Winarta, 2000, Op. Cit, hlm 23.
[6]
Mochtar Kusumaatmadja, 1975, Bantuan
Hukum di Indonesia, Terutama dalam Hubungannya
dengan Pendidikan Hukum, Lembaga Penelitian Hukum dan kriminologi,
Fakultas Hukum, Universitas Padjajaran, Bandung, hlm. 7
Tidak ada komentar:
Posting Komentar