Selasa, 05 November 2013

Maka, Berusaha Berusaha dan Berdoa

 
"Tahu kah engkau, siapa orang yang paling merugi itu? Orang yang nantinya akan menyesal?"

"Ya, orang yang menyerah untuk mendapatkan rahmat-Nya, untuk mendapatkan petunjuk-Nya. Orang2 seperti itulah orang yang merugi."

"Lalu kenapa setiap apa yang diharapkan; yang dimau; yang diingini tak terbalaskan? tak tersampaikan?"

"Tenang, bukankah Allah tahu yang terbaik buatmu, belum tentu yang kamu anggap baik itu memang baik untukmu.. Bahkan apa yang kamu anggap buruk, belum tentu demikian, yang jelas tugas makhluk itu berusaha, berusaha, dan berdoa.."

"Ini bukan perkataan Syaikhu, sungguh bukan. Bukankah ini sudah tertera dengan jelas dalam kitab suci; tergantung engkau, mau membacanya atau tidak, mau memahaminya atau tidak."

*Syaikhu, 5 Nopember 2013

Selasa, 22 Oktober 2013

Asas-Asas Hukum Acara Pidana

Suatu hukum pastilah ada asas yang digunakan sebagai landasan berpijaknya dalam operasional pelaksanaannya, begitu pula hukum acara pidana. Untuk melaksanakan hukum acara pidana, ada beberapa asas-asas penting yang perlu diketahui. Menurut Andi Hamzah ada beberapa asas penting yang terdapat dalam hukum acara pidana yaitu:
“Asas-asas penting dalam hukum acara pidana adalah:
1.      Peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan;
2.      Praduga tak bersalah (Presumption of innocence);
3.      Oportunitas;
4.      Pemeriksaan pengadilan terbuka untuk umum;
5.      Semua orang diperlakukan sama didepan hakim;
6.      Peradilan dilakukan oleh hakim karena jabatannya dan tetap;
7.      Tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum;
8.      Akusator dan inkusitor (Accusatoir dan Inqusitoir);
9.      Pemeriksaan Hakim yang langsung dan lisan[1].”

Penjelasan asas-asas tersebut diatas adalah sebagai berikut:
a)      Asas Peradilan Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan
Bahwa peradilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak harus diterapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan. Berdasarkan penjelasan umum KUHAP Butir 3 Huruf e ditegaskan sebagai berikut:
Peradilan harus dilaksanakan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas jujur, dan tidak memihak harus diterapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan.

Berdasarkan ketentuan tersebut juga ditegaskan dalam ketentuan Pasal 59 ayat (1), (2), dan (3) KUHAP yang pada intinya bahwa tersangka dan terdakwa berhak:
-          Segera mendapatkan pemeriksaan oleh penyidik;
-          Segera diajukan kepada penuntut umum oleh penyidik;
-          Berhak perkaranya diajukan ke pengadilan oleh penuntut umum; dan
-          Berhak segera diadili oleh pengadilan.

KUHAP menunjukkan sistem peradilan cepat, dengan banyak menggunakan istilah “segera”. Menurut Andi Hamzah[2] bahwa istilah “satu kali dua puluh empat jam” lebih pasti dari pada istilah “segera”. Demikianlah sehingga ketentuan yang sangat bagus ini perlu diwujudkan dalam praktek penegak hukum. Ia mengharapkan sebaiknya dalam pembuatan peraturan perundang-undangan yang akan dihindari istilah “segera”, dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dan semacamnya dan diganti dengan “satu kali dua puluh empat jam”, “tiga kali dua puluh empat jam”, “dua bulan”, dan seterusnya.
Mengenai pelimpahan berkas dari Pengadilan Negeri ke Pengadilan Tinggi sebagai pengadilan tingkat banding juga diatur sedemikian rupa, agar tercapai pengadilan yang bersifat tepat.
Pasal 110 KUHAP mengatur tentang hubungan penuntut umum dan penyidik dengan kata “segera”.
Pasal 140 ayat (1) KUHAP yang berbunyi:
Dalam Hal penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, ia dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan.

Berdasarkan pasal tersebut yang juga terdapat kata secepatnya, yang berarti penegak hukum dalam melakukan pemeriksaan tidak boleh ditunda-tunda dalam penyelesaian dan harus sesuai dengan tanggung jawab.
Tentang asas sederhana dan biaya ringan dapat dijabarkan dalam KUHAP seperti yang diatur dalam:
-          Penggabungan pemeriksaan perkara pidana dengan tuntutan ganti rugi yang bersifat perdata oleh seorang korban yang mengalami kerugian sebagai akibat langsung dari tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa (Pasal 98);
-          Banding tidak dapat diminta terhadap putusan acara cepat;
-          Pembatasan penahanan dengan memberi sanksi dapat dituntut ganti rugi pada sidang praperadilan, tidak kurang artinya sebagai pelaksanaan prinsip mempercepat dan menyederhanakan poses penahanan;
-          Demikian juga peletakan asas diferensiasi fungional, nyata-nyata memberi kesederhanaan penanganan fungsi dan wewenang penyidikan, agar tidak terjadi penyidikan bolak-balik, timpang tindih dan saling bertentangan.

Proses perkara pidana dengan biaya ringan diartikan menghindarkan sistem administrasi perkara dan mekanisme bekerjanya para petugas yang mengakibatkan beban biaya bagi yang berkepentingan atau masyarakat (social cost) yang tidak sebanding, karena biaya yang dikeluarkan lebih besar dari hasil yang diharapkan lebih kecil.
Menurut Andi Hamzah[3], peradilan cepat (terutama untuk menghindari penahanan yang lama sebelum ada keputusan hakim) merupakan bagian dari hak asasi manusia. Begitu pula peradilan yang bebas, jujur, dan tidak memihak yang ditonjolkan dalam undang-undang tersebut.
b)     Asas Praduga Tak Bersalah
Asas yang dikenal dengan sebutan presumption of innocence ini yaitu setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan dimuka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Menurut Andi Hamzah[4], ketentuan ini juga mengandung arti praduga tak bersalah yang mewajibkan setiap tindakan penangkapan, penahanan, dan sebagainya harus benar-benar dilakukan berdasarkan alasan-alasan menurut undang-undang dan memberikan sanksi bagi pejabat yang sengaja melanggar ketentuan yang termaksud.
c)      Asas Oportunitas
Asas ini merupakan wewenang dari Kejaksaan Agung sesuai dengan ketentuan Pasal 35 huruf (c) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 yang berbunyi:
Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang mengesampingkan suatu perkara demi kepentingan umum.

A.Z. Abidin seperti yang dikutip oleh Andi Hamzah memberi suatu rumusan tentang asas oportunitas bahwa:
“Asas oportunitas yaitu asas hukum yang memberikan wewenangnya kepada Penuntut Umum untuk menuntut atau tidak menuntut dengan atau tanpa syarat seseorang atau korporasi yang telah mewujudkan delik demi kepentingan umum[5].”

Pada praktiknya jarang sekali asas ini diterapkan dan dalam keadaan hukum yang harus memberikan kepercayaan masyarakat akan penegakan hukum, sehingga tidak terjadi penilaian yang buruk terhadap citra kejaksaan sebagai penuntut umum.
d)     Pemeriksaan Pengadilan Terbuka untuk Umum
Pada dasarnya setiap persidangan adalah terbuka untuk umum kecuali persidangan mengenai perkara kesusilaan atau terdakwanya anak-anak. Hal ini sesuai dengan apa yang diatur dalam Pasal 153 ayat (3) KUHAP yang berbunyi:
Untuk keperluan pemeriksaan, hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak.

Apabila hakim tidak membuka sidang tersebut untuk umum maka hakim melanggar ketentuan ketentuan dan mengakibatkan putusan hakim pengadilan menjadi “batal demi hukum.”
Terhadap ketentuan ini ada kecualinya mengenai perkara yang menyangkut kesusilaan dan terdakwanya terdiri dari anak-anak, dalam hal ini persidangan dapat dilakukan dengan tertutup.
Menurut Yahya Harahap[6] disebut sebagai asas demokrasi oleh karena dari pasal-pasal KUHAP mendukung asas ini, memberi makna yang mengarahkan tindakan penegakan hukum di sistem Indonesia harus dilandasi jiwa “persamaan” dan “keterbukaan” serta musyawarah dan mufakat dari majelis peradilan dalam mengambil keputusan.
e)      Semua Orang Diperlakukan Sama Didepan Hakim
Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) KUHAP dirumuskan suatu ketentuan sebagai berikut:
Perlakuan yang sama atas diri setiap orang dimuka hukum dengan tidak mengadakan perbedaan perlakuan.

Selanjutnya dalam Penjelasan Umum Butir 3a KUHAP berbunyi:
Perlakuan yang sama atas diri setiap orang dimuka hukum dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan.

Jadi sesuai dengan ketentuan pasal tersebut di atas telah ditegaskan bahwa peradilan memberikan perlakuan yang sama kepada setiap orang di dalam pemeriksaan hakim tanpa adanya pembedaan.
f)       Peradilan Dilakukan oleh Hakim Karena Jabatannya dan Tetap
Ini berarti pengambilan keputusan salah tidaknya terdakwa dilakukan oleh hakim karena jabatannya dan bersifat tetap. Untuk jabatannya hakim-hakim ini diangkat oleh Kepala Negara.
g)      Tersangka atau Terdakwa Berhak Mendapat Bantuan Hukum
Asas ini memberikan harkat dan martabat kepada tersangka atau terdakwa bahwa mereka sederajat dengan manusia lainnya. Bantuan hukum dapat diperoleh oleh tersangka sejak awal dengan mengacu berdasarkan Pasal 69 sampai dengan 74 KUHAP. Berdasarkan pasal tersebut, dirumuskan bahwa tersangka atau terdakwa mendapatkan:
1.      Bantuan hukum dapat diberikan sejak tersangka ditangkap atau ditahan (Pasal 69);
2.      Bantuan hukum diberikan pada semua tingkat pemeriksaan (Pasal 69);
3.      Penasehat hukum dapat menghubungi tersangka atau terdakwa pada semua tingkat pemeriksaan pada setiap waktu (Pasal 70 ayat (1));
4.      Pembicaraan antara penasehat hukum saat menghubungi tersangka tidak didengar oleh penyisik dan penuntut umum kecuali pada delik yang menyangkut keamanan negara (Pasal 71 ayat (1) dan ayat (2));
5.      Turunan berita acara diberikan kepada tersangka atau penuntut umum guna kepentingan pembelaan (Pasal 72);
6.      Penasehat hukum berhak mengirim dan menerima surat dari tersangka atau terdakwa (Pasal 73);

Pengecualian dari pasal tersebut diatas terdapat pada ketentuan Pasal 56 ayat (1) KUHAP merupakan kewajiban dari aparat penegak hukum menegaskan bahwa:
Dalam hal tersangka atau terdakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana 15 tahun penjara atau lebih yang tidak mempunyai penasehat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasehat hukum bagi mereka.

Menurut Andi Hamzah[7] pembatasan-pembatasan hanya dikenakan jika penasehat hukum menyalahgunakan hak-haknya tersebut. Kebebasan-kebebasan dan kelonggaran-kelonggaran tersebut hanya dari segi yuridis semata-mata bukan dari segi politik, sosial dan ekonomi.
h)     Akusator dan Inkusitor (Accusatoir dan Inqusitoir)
Kebebasan memberi dan mendapatkan nasihat hukum menunjukkan bahwa KUHAP telah menganut asas akusator. Ini artinya perbedaan antara pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan sidang pengadilan pada asasnya telah dihilangkan.
Prinsip akusator menempatkan kedudukan tersangka atau terdakwa dalam setiap pemeriksaan sebagai berikut:
1.      Adalah sebagai subyek, bukan obyek pemeriksaan, karena itu kedudukan tersangka atau terdakwa harus didudukkan dalam kedudukan yang mempunyai harkat dan martabat;
2.      Yang menjadi obyek dalam prinsip akusator adalah kesalahan (tindak pidana) yang dilakukan oleh tersangka atau terdakwa.

Menurut Andi Hamzah[8], prisnsip inkusitor adalah menempatkan tersangka atau terdakwa sebagai obyek yang dapat diperlakukan dengan sewenang-wenang.
i)        Pemeriksaan Hakim yang Langsung dan Lisan
Pemeriksaan di tingkat pengadilan oleh hakim secara langsung, artinya langsung kepada terdakwa dan para saksi. Ini berbeda dengan acara perdata dimana tergugat dapat diwakili oleh kuasanya.
Menurut Andi Hamzah[9] hal ini berkaitan dengan tujuan hukum acara pidana yaitu mencari kebenaran materiil, dimana hakim melakukan pemeriksaan di tingkat pengadilan haruslah secara langsung. Pemeriksaan hakim juga dilakukan secara lisan, artinya bukan tertulis antara hakim dan terdakwa.



[1] Ibid, 23
[2] Andi Hamzah, Op. Cit, 19
[3] Ibid, 11
[4] Djoko Prakoso, Peranan Psikologi Dalam Pemeriksaan Tersangka Pada Tahap Penyidikan (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986) , 86
[5] Ibid, 14
[6]M. Yahya Harahap, Op. Cit, 56
[7] Andi Hamzah, Op. Cit, 21
[8] Ibid, 22
[9]Ibid

Jumat, 26 Oktober 2012

HAK-HAK WHISTLEBLOWER


Hak-hak whistleblower yang juga seorang saksi (pelapor) telah diatur dalam UU No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Haknya meliputi:
1.      Memperoleh perlindungan dari lembaga perlindungan saksi. Bahkan, keluarga whistleblower pun bisa memperoleh perlindungan. Bentuk perlindungan pun bermacam-macam. Misalnya, mendapat identitas baru, tempat kediaman baru yang aman (safe house), pelayanan psikologis, dan biaya hidup selama masa perlindungan.
2.   Memberikan keterangan atau kesaksian mengenai suatu pelanggaran atau kejahatan yang diketahui dengan bebas, tanpa rasa takut atau terancam.
3.  Mendapatkan informasi mengenai tindaklanjut atau perkembangan penanganan Lembaga Perlindungan Saksi terhadap pelanggaran atau kejahatan yang telah diungkap.
4.      Mendapatkan balas jasa atau reward dari negara atas kesaksian yang telah diungkap karena kesaksian mampu membongkar suatu kejahatan yang lebih besar.

Sejarah WhistleBlower di Berbagai Negara


Menurut sejarahnya, whistleblower sangat erat kaitanya dengan organisasi kejahatan ala mafia sebagai organisasi kejahatan tertua dan terbesar di Italia yang berasal dari Palermo, Sicilia, sehingga sering disebut Sicilian Mafia atau Cosa Nostra.
Kejahatan terorganisasi yang dilakukan oleh para Mafioso (sebutan terhadap anggota mafia) bergerak dibidang perdagangan heroin dan berkembang diberbagai belahan dunia, sehingga kita mengenal organisasi sejenis diberbagai Negara seperti Mafia di Rusia, cartel di Colombia, triad di Cina, dan Yakuza di Jepang. Begitu kuatnya jaringan organisasi kejahatan tersebut sehingga orang-orang mereka bias menguasai berbagai sektor kekuasaan, apakah itu eksekusf, legislatif maupun yudikatif termasuk aparat penegak hukum.[1]
Tidak jarang suatu sindikat bias terbongkar karena salah seorang dari mereka ada yang berkhianat. Artinya, salah seorang dari mereka melakukan tindakan sendiri sebagai peniup peluit (whistleblower) untuk mengungkap kejahatan yang mereka lakukan kepada publik atau aparat penegak hukum. Sebagai imbalannya whistleblower tersebut dibebaskan dari segala tuntutan hukum.
Whistleblower berkembang diberbagai Negara dengan seperangkat aturan masing-masing, diantaranya ialah :[2]
1.      Amerikat Serikat, whistleblower diatur dalam Whistleblower Act 1989, Whistleblower di Amerika Serikat dilindungi dari pemecatan, penurunan pangkat, pemberhentian sementara, ancaman, gangguan dan tindak diskriminasi.
2.      Afrika Selatan, Whistleblower diatur dalam Pasal 3 Protected Dsdosures Act Nomor 26 Tahun 2000, Whistleblower diberi perlindungan dari accupational detriment atau kerugian yang berhubungan dengan jabatan atau pekerjaan.

3.      Canada, Whistleblower diatur dalam Section 425.1 Criminal Code of Canada. Whistleblower dilindungi dari pemberi pekerjaan yang memberikan hukuman disiplin, menurunkan pangkat, memecat atau melakukan tindakan apapun yang merugikan dari segi pekerjaan dengan tujuan untuk mencegah pekerja memberikan informasi kepada pemerintah atau badan pelaksanaan hukum atau untuk membalas pekerja yang memberikan informasi.
4.      Australia, Whistleblower diatur dalam Pasal 20 dan Pasal 21 Protected Dsdosures Act 1994.  Whistleblower identitasnya dirahasiakan, tidak ada pertanggungjawban secara pidana atau perdata, perlindungan dari penceraman nama baik perlindungan dari pihak pembalasan dan perlindungan kondisional apabila namanya dipublikasikan ke media.
5.      Inggris, Whistleblower diatur Pasal 1 dan Pasal 2 Public Interes Disclouse Act 1998. Whistleblower tidak boleh dipecah dan dilindungi dari viktimisasi serta perlakuan yang merugikan.



[1]  Eddy O.S. Hiariej,Legal Opin:Permohonan Pengujian Pasal 10Ayat(2)Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksidan Korban, Newslette Komisi Hukum Nasional ,Vol. 10 No.6 tahun 2010, Hlm.23
3   Ibid.

Mengenal WhistleBlower


Seorang whistleblower seringkali dipahami sebagai saksi pelapor. Orang yang memberikan laporan atau kesaksian mengenai suatu dugaan tindak pidana kepada aparat penegak hukum dalam proses peradilan pidana. Namun untuk disebut sebagai whistleblower, saksi tersebut setidaknya harus memenuhi dua kriteria mendasar.
Kriteria pertama, whistleblower menyampaikan atau mengungkap laporan kepada otoritas yang berwenang atau kepada media massa atau publik. Dengan mengungkapkan kepada otoritas yang berwenang atau media massa diharapkan dugaan suatu kejahatan dapat diungkap dan terbongkar.
Kriteria kedua, seorang whistleblower merupakan orang ‘dalam’, yaitu orang yang mengungkap dugaan pelanggaran dan kejahatan yang terjadi di tempatnya bekerja atau ia berada. Karena skandal kejahatan selalu terorganisir, maka seorang whistleblower kadang merupakan bagian dari pelaku kejahatan atau kelompok mafia itu sendiri. Dia terlibat dalam skandal lalu mengungkapkan kejahatan yang terjadi.[1]


[1] Abdul Haris Semendawai, Ferry Santoso, Wahyu Wagiman, Betty Itha Omas, Susilaningtias, Syahrial Martanto Wiryawan. Op. Cit. hlm. 1-2

Kumpulan Judul Skripsi Pidana Buku II


1.      Tinjauan Yuridis Praktek Persekongkolan Tidak Sehat Dalam Tender Proyek
2.      Pelanggaran Prinsip Miranda Rule (Pendampingan Penasihat Hukum) Dalam Praktik Peradilan Pidana di Indonesia
3.      Perlindungan Atas Korban dalam Pelanggaran HAM Berat dari Aspek Hukum Positif dan Hukum Internasional
4.      Tindak Pidana Korupsi Ditinjau Dari Perspektif Hukum Islam
5.      Euthanasia Ditinjau Dari Segi Medis dan Hukum Pidana
6.      Tinjauan Yuridis Atas Pengajuan Grasi Dalam Kajian Pidana
7.      Penayangan Iklan Supranatural di Media Televisi Ditinjau Dari Etika Pariwara dan Kajian Pidana
8.      Tindak Pidana Cyber Crime Dalam Perspektif Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008
9.      Tinjauan Atas Pemberitaan Yang Berindikasi Adanya Pencemaran Nama Baik Oleh Media Massa Dalam Perspektif Kode Etik Jurnalistik dan Undang-undang Pers
10.  Tindakan Diskresi Polisi Dalam Pelaksanaan Tugas Penyidikan Pidana
11.  Tinjauan Yuridis Penyembunyian Identitas Pelaku Tindak Pidana Oleh Pers Dalam Acara Bertema Investigasi Kriminal
12.  Penerapan Sanksi Pidana Bagi Anak di Bawah Umur
13.  Pembuktian Tindak Pidana Pemalsuan Data Dalam Informasi dan Transaksi Elektronik
14.  Tinjauan Pidana Penegakan UU No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem Dalam Pelaksanaan Konservasi Taman Nasional Bali
15.  Tinjauan Atas Tindakan Aborsi dengan Dalih Indikasi Medis Karena Terjadinya Kehamilan Akibat Perkosaan Incest
16.  Tinjauan Yuridis Pelanggaran Rahasia Kedokteran
17.  Tinjauan Atas Penyalahgunaa Ijin Bebas Visa Kunjungan Singkat (BVKS) Bagi Warga Negara Asing
18.  Pertanggungjawaban Tindak Pidana Penyalahgunaan Kartu Kredit Orang Lain
19.  Hubungan Kausalitas Dalam Pembuktian Tindak Pidana Pembunuhan
20.  Analisis Yuridis Pemalsuan Surat Persetujuan Istri Dalam Melakukan Poligami
21.  Perlindungan Nasabah Bank Dalam Penggunaan Internet Banking Atas Terjadinya Cyber crime
22.  Tinjauan Yuridis Keabsahan Pengajuan Kasasi Atas Putusan Praperadilan
23.  Pelaksanaan Prinsip Mengenal Nasabah Dalam Transaksi Perbankan
24.  Penjatuhan Pidana Mati Dalam Sistem Hukum Indonesia
25.  Peranan Kepolisian Dalam Tindak Pidana Hacking Terhadap Perbankan
26.  Tinjauan Atas Pengajuan Praperadilan oleh Pihak Ketiga Atas Penghentian Penyidikan Atau Penuntutan Dalam Perkara Korupsi
27.  Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Illegal Logging
28.  Penegakan Hukum Pidana Dalam Kasus Illegal Logging Berdasarkan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
29.  Tinjauan Yuridis Atas Kasus Pembunuhan Berencana Yang didahului Tindak Pidana Perkosaan
30.  Tinjauan Atas Permohonan Kasasi Winai Nakprasit dan Sawong Tiectacun Dalam Perkara Illegal Fishing
31.  Analisa Pertanggungjawaban Penyidik Polri dan Upaya Hukum Yang Dilakukan Oleh Terpidana dalam Hal Terjadinya Salah Tangkap atau Error in Persona
32.  Pertanggungjawaban Dalam Pelaksanaan Kewenangan Tembak Di Tempat Yang Dimiliki Oleh Kepolisian Republik Indonesia
33.  Pertanggungjawaban Dalam Pelaksanaan Kewenangan Tembak Di Tempat Yang Dimiliki Oleh Kepolisian Republik Indonesia
34.  Bantuan Hukum Terhadap Tersangka Dalam Penyidikan Perkara Perpajakan
35.  Implementasi Kewenangan Polisi Untuk Melakukan Kegiatan Pengambilan Sidik Jari Dengan Teknik Daktiloskopi Dalam Penyidikan Perkara Pidana
36.  Kuasa Hukum Pada Pengadilan Pajak
37.  Peranan Visum et Repertum Dalam Pembuktian Tindak Pidana Menghilangkan Nyawa Orang Dengan Racun
38.  Tinjauan Yuridis Terhadap Profesi Artis Di Bawah Umur Sebagai Suatu Bentuk Eksploitasi Terhadap Anak
39.  Kekuatan Kesaksian Yang Berdiri Sendiri Dalam Proses Persidangan
40.  Usaha-Usaha Bank Indonesia Dalam Menanggulangi Peredaran Uang Palsu Di Indonesia Berdasarkan Pasal 244 dan 245 KUHP
41.  Studi Komparasi Pembuktian Terbalik Antara Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
42.  Analisis Mengenai Eksistensi Pidana Mati di Indonesia (Suatu Kajian dari Pengaruh Psikologis Bagi Masyarakat)
43.  Peranan Ilmu Forensik Dalam Usaha Memecahkan Kasus-Kasus Kriminalitas
44.  Peranan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Dalam Mencegah dan Memberantas Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundring)
45.  Tindak Pidana Pencurian Dengan Kekerasan
46.  Perlindungan Hukum Bagi Saksi Pengungkap Fakta (Whistleblower) Dalam Perkara Pidana (Analisis Yuridis Terhadap Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban)
47.  Penyertaan Modal Sementara Oleh Lembaga Penjamin Simpanan Sebagai Upaya Penyelamatan Bank Gagal (Studi Kasus: PT. Bank Century Tbk.)
Read more: