Penal Society
Sebuah Blog khusus memauat tentang hal yang berbau Pidana
Selasa, 05 November 2013
Selasa, 22 Oktober 2013
Asas-Asas Hukum Acara Pidana
Suatu hukum
pastilah ada asas yang digunakan sebagai landasan berpijaknya dalam operasional
pelaksanaannya, begitu pula hukum acara pidana. Untuk
melaksanakan hukum acara pidana, ada beberapa asas-asas penting yang perlu
diketahui. Menurut Andi Hamzah ada beberapa
asas penting yang terdapat dalam hukum acara pidana yaitu:
“Asas-asas
penting dalam hukum acara pidana adalah:
1.
Peradilan
cepat, sederhana dan biaya ringan;
2.
Praduga
tak bersalah (Presumption of innocence);
3.
Oportunitas;
4.
Pemeriksaan
pengadilan terbuka untuk umum;
5.
Semua
orang diperlakukan sama didepan hakim;
6.
Peradilan
dilakukan oleh hakim karena jabatannya dan tetap;
7.
Tersangka
atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum;
8.
Akusator
dan inkusitor (Accusatoir dan Inqusitoir);
9.
Pemeriksaan
Hakim yang langsung dan lisan[1].”
Penjelasan
asas-asas tersebut diatas adalah sebagai berikut:
a)
Asas
Peradilan Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan
Bahwa
peradilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan serta
bebas, jujur dan tidak memihak harus diterapkan secara konsekuen dalam seluruh
tingkat peradilan. Berdasarkan penjelasan umum KUHAP Butir 3 Huruf e ditegaskan
sebagai berikut:
Peradilan harus dilaksanakan dengan
cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas jujur, dan tidak memihak harus diterapkan
secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan.
Berdasarkan
ketentuan tersebut juga ditegaskan dalam ketentuan Pasal 59 ayat (1), (2), dan
(3) KUHAP yang pada intinya bahwa tersangka dan terdakwa berhak:
-
Segera
mendapatkan pemeriksaan oleh penyidik;
-
Segera
diajukan kepada penuntut umum oleh penyidik;
-
Berhak
perkaranya diajukan ke pengadilan oleh penuntut umum; dan
-
Berhak
segera diadili oleh pengadilan.
KUHAP
menunjukkan sistem peradilan cepat, dengan banyak menggunakan istilah “segera”.
Menurut Andi Hamzah[2]
bahwa istilah “satu kali dua puluh empat jam” lebih pasti dari pada istilah
“segera”. Demikianlah sehingga ketentuan yang sangat bagus ini perlu diwujudkan
dalam praktek penegak hukum. Ia mengharapkan sebaiknya dalam pembuatan
peraturan perundang-undangan yang akan dihindari istilah “segera”, dalam waktu
yang sesingkat-singkatnya dan semacamnya dan diganti dengan “satu kali dua
puluh empat jam”, “tiga kali dua puluh empat jam”, “dua bulan”, dan seterusnya.
Mengenai
pelimpahan berkas dari Pengadilan Negeri ke Pengadilan Tinggi sebagai
pengadilan tingkat banding juga diatur sedemikian rupa, agar tercapai
pengadilan yang bersifat tepat.
Pasal
110 KUHAP mengatur tentang hubungan penuntut umum dan penyidik dengan kata
“segera”.
Pasal
140 ayat (1) KUHAP yang berbunyi:
Dalam Hal penuntut umum berpendapat
bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, ia dalam waktu secepatnya
membuat surat dakwaan.
Berdasarkan
pasal tersebut yang juga terdapat kata secepatnya, yang berarti penegak hukum
dalam melakukan pemeriksaan tidak boleh ditunda-tunda dalam penyelesaian dan
harus sesuai dengan tanggung jawab.
Tentang
asas sederhana dan biaya ringan dapat dijabarkan dalam KUHAP seperti yang
diatur dalam:
-
Penggabungan
pemeriksaan perkara pidana dengan tuntutan ganti rugi yang bersifat perdata oleh
seorang korban yang mengalami kerugian sebagai akibat langsung dari tindak
pidana yang dilakukan oleh terdakwa (Pasal 98);
-
Banding
tidak dapat diminta terhadap putusan acara cepat;
-
Pembatasan
penahanan dengan memberi sanksi dapat dituntut ganti rugi pada sidang
praperadilan, tidak kurang artinya sebagai pelaksanaan prinsip mempercepat dan
menyederhanakan poses penahanan;
-
Demikian
juga peletakan asas diferensiasi fungional, nyata-nyata memberi kesederhanaan
penanganan fungsi dan wewenang penyidikan, agar tidak terjadi penyidikan
bolak-balik, timpang tindih dan saling bertentangan.
Proses perkara pidana dengan biaya
ringan diartikan menghindarkan sistem administrasi perkara dan mekanisme
bekerjanya para petugas yang mengakibatkan beban biaya bagi yang berkepentingan
atau masyarakat (social cost) yang
tidak sebanding, karena biaya yang dikeluarkan lebih besar dari hasil yang
diharapkan lebih kecil.
Menurut Andi Hamzah[3], peradilan
cepat (terutama untuk menghindari penahanan yang lama sebelum ada keputusan
hakim) merupakan bagian dari hak asasi manusia. Begitu pula peradilan yang
bebas, jujur, dan tidak memihak yang ditonjolkan dalam undang-undang tersebut.
b)
Asas
Praduga Tak Bersalah
Asas
yang dikenal dengan sebutan presumption
of innocence ini yaitu setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan,
dituntut dan atau dihadapkan dimuka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak
bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan
memperoleh kekuatan hukum tetap.
Menurut
Andi Hamzah[4], ketentuan
ini juga mengandung arti praduga tak bersalah yang mewajibkan setiap tindakan penangkapan,
penahanan, dan sebagainya harus benar-benar dilakukan berdasarkan alasan-alasan
menurut undang-undang dan memberikan sanksi bagi pejabat yang sengaja melanggar
ketentuan yang termaksud.
c)
Asas
Oportunitas
Asas ini merupakan wewenang dari Kejaksaan
Agung sesuai dengan ketentuan Pasal 35 huruf (c) Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2004 yang berbunyi:
Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang
mengesampingkan suatu perkara demi kepentingan umum.
A.Z.
Abidin seperti yang dikutip oleh Andi Hamzah memberi suatu rumusan tentang asas oportunitas bahwa:
“Asas oportunitas yaitu asas hukum yang
memberikan wewenangnya kepada Penuntut Umum untuk menuntut atau tidak menuntut
dengan atau tanpa syarat seseorang atau korporasi yang telah mewujudkan delik demi
kepentingan umum[5].”
Pada
praktiknya jarang sekali asas ini diterapkan dan dalam keadaan hukum yang harus
memberikan kepercayaan masyarakat akan penegakan hukum, sehingga tidak terjadi
penilaian yang buruk terhadap citra kejaksaan sebagai penuntut umum.
d)
Pemeriksaan
Pengadilan Terbuka untuk Umum
Pada
dasarnya setiap persidangan adalah terbuka untuk umum kecuali persidangan
mengenai perkara kesusilaan atau terdakwanya anak-anak. Hal ini sesuai dengan
apa yang diatur dalam Pasal 153 ayat (3) KUHAP yang berbunyi:
Untuk keperluan pemeriksaan, hakim ketua
sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara
mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak.
Apabila
hakim tidak membuka sidang tersebut untuk umum maka hakim melanggar ketentuan
ketentuan dan mengakibatkan putusan hakim pengadilan menjadi “batal demi
hukum.”
Terhadap
ketentuan ini ada kecualinya mengenai perkara yang menyangkut kesusilaan dan
terdakwanya terdiri dari anak-anak, dalam hal ini persidangan dapat dilakukan
dengan tertutup.
Menurut
Yahya Harahap[6]
disebut sebagai asas demokrasi oleh karena dari pasal-pasal KUHAP mendukung
asas ini, memberi makna yang mengarahkan tindakan penegakan hukum di sistem
Indonesia harus dilandasi jiwa “persamaan” dan “keterbukaan” serta musyawarah
dan mufakat dari majelis peradilan dalam mengambil keputusan.
e)
Semua
Orang Diperlakukan Sama Didepan Hakim
Berdasarkan
Pasal 5 ayat (1) KUHAP dirumuskan suatu ketentuan sebagai berikut:
Perlakuan yang
sama atas diri setiap orang dimuka hukum dengan tidak mengadakan perbedaan
perlakuan.
Selanjutnya
dalam Penjelasan Umum Butir 3a KUHAP berbunyi:
Perlakuan yang sama atas diri setiap
orang dimuka hukum dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan.
Jadi
sesuai dengan ketentuan pasal tersebut di atas telah ditegaskan bahwa peradilan
memberikan perlakuan yang sama kepada setiap orang di dalam pemeriksaan hakim
tanpa adanya pembedaan.
f)
Peradilan
Dilakukan oleh Hakim Karena Jabatannya dan Tetap
Ini
berarti pengambilan keputusan salah tidaknya terdakwa dilakukan oleh hakim
karena jabatannya dan bersifat tetap. Untuk jabatannya hakim-hakim ini diangkat
oleh Kepala Negara.
g)
Tersangka
atau Terdakwa Berhak Mendapat Bantuan Hukum
Asas
ini memberikan harkat dan martabat kepada tersangka atau terdakwa bahwa mereka
sederajat dengan manusia lainnya. Bantuan hukum dapat diperoleh oleh tersangka
sejak awal dengan mengacu berdasarkan Pasal 69 sampai dengan 74 KUHAP.
Berdasarkan pasal tersebut, dirumuskan bahwa tersangka atau terdakwa
mendapatkan:
1.
Bantuan
hukum dapat diberikan sejak tersangka ditangkap atau ditahan (Pasal 69);
2.
Bantuan
hukum diberikan pada semua tingkat pemeriksaan (Pasal 69);
3.
Penasehat
hukum dapat menghubungi tersangka atau terdakwa pada semua tingkat pemeriksaan
pada setiap waktu (Pasal 70 ayat (1));
4.
Pembicaraan
antara penasehat hukum saat menghubungi tersangka tidak didengar oleh penyisik
dan penuntut umum kecuali pada delik yang menyangkut keamanan negara (Pasal 71
ayat (1) dan ayat (2));
5.
Turunan
berita acara diberikan kepada tersangka atau penuntut umum guna kepentingan
pembelaan (Pasal 72);
6.
Penasehat
hukum berhak mengirim dan menerima surat dari tersangka atau terdakwa (Pasal
73);
Pengecualian
dari pasal tersebut diatas terdapat pada ketentuan Pasal 56 ayat (1) KUHAP
merupakan kewajiban dari aparat penegak hukum menegaskan bahwa:
Dalam hal tersangka atau terdakwa
melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana 15
tahun penjara atau lebih yang tidak mempunyai penasehat hukum sendiri, pejabat
yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksan dalam proses peradilan wajib
menunjuk penasehat hukum bagi mereka.
Menurut
Andi Hamzah[7] pembatasan-pembatasan
hanya dikenakan jika penasehat hukum menyalahgunakan hak-haknya tersebut.
Kebebasan-kebebasan dan kelonggaran-kelonggaran tersebut hanya dari segi
yuridis semata-mata bukan dari segi politik, sosial dan ekonomi.
h)
Akusator
dan Inkusitor (Accusatoir dan Inqusitoir)
Kebebasan
memberi dan mendapatkan nasihat hukum menunjukkan bahwa KUHAP telah menganut
asas akusator. Ini artinya perbedaan antara pemeriksaan pendahuluan dan
pemeriksaan sidang pengadilan pada asasnya telah dihilangkan.
Prinsip
akusator menempatkan kedudukan tersangka atau terdakwa dalam setiap pemeriksaan
sebagai berikut:
1.
Adalah
sebagai subyek, bukan obyek pemeriksaan, karena itu kedudukan tersangka atau
terdakwa harus didudukkan dalam kedudukan yang mempunyai harkat dan martabat;
2.
Yang
menjadi obyek dalam prinsip akusator adalah kesalahan (tindak pidana) yang
dilakukan oleh tersangka atau terdakwa.
Menurut
Andi Hamzah[8], prisnsip
inkusitor adalah menempatkan tersangka atau terdakwa sebagai obyek yang dapat
diperlakukan dengan sewenang-wenang.
i)
Pemeriksaan
Hakim yang Langsung dan Lisan
Pemeriksaan
di tingkat pengadilan oleh hakim secara langsung, artinya langsung kepada
terdakwa dan para saksi. Ini berbeda dengan acara perdata dimana tergugat dapat
diwakili oleh kuasanya.
Menurut
Andi Hamzah[9] hal
ini berkaitan dengan tujuan hukum acara pidana yaitu mencari kebenaran
materiil, dimana hakim melakukan pemeriksaan di tingkat pengadilan haruslah
secara langsung. Pemeriksaan hakim juga dilakukan secara lisan, artinya bukan
tertulis antara hakim dan terdakwa.
Sabtu, 27 Oktober 2012
Tindak Pidana Penodaan Agama
Oleh Akhmad Syaikhu & Tiara Melda Azmila,.
klik aja http://www.4shared.com/file/AOamWcue/tugaaaaas.html
klik aja http://www.4shared.com/file/AOamWcue/tugaaaaas.html
Jumat, 26 Oktober 2012
HAK-HAK WHISTLEBLOWER
Hak-hak
whistleblower yang juga seorang saksi (pelapor) telah diatur dalam UU
No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Haknya meliputi:
1.
Memperoleh perlindungan dari lembaga
perlindungan saksi. Bahkan, keluarga whistleblower pun bisa memperoleh perlindungan.
Bentuk perlindungan pun bermacam-macam. Misalnya, mendapat identitas baru,
tempat kediaman baru yang aman (safe house), pelayanan psikologis, dan biaya
hidup selama masa perlindungan.
2. Memberikan keterangan atau kesaksian
mengenai suatu pelanggaran atau kejahatan yang diketahui dengan bebas, tanpa
rasa takut atau terancam.
3. Mendapatkan informasi mengenai
tindaklanjut atau perkembangan penanganan Lembaga Perlindungan Saksi terhadap pelanggaran
atau kejahatan yang telah diungkap.
4.
Mendapatkan balas jasa atau reward dari
negara atas kesaksian yang telah diungkap karena kesaksian mampu membongkar suatu
kejahatan yang lebih besar.
Sejarah WhistleBlower di Berbagai Negara
Menurut sejarahnya, whistleblower
sangat erat kaitanya dengan organisasi kejahatan ala mafia sebagai
organisasi kejahatan tertua dan terbesar di Italia yang berasal dari Palermo,
Sicilia, sehingga sering disebut Sicilian
Mafia atau Cosa Nostra.
Kejahatan terorganisasi yang dilakukan oleh para Mafioso (sebutan terhadap anggota mafia)
bergerak dibidang perdagangan heroin dan berkembang diberbagai belahan dunia,
sehingga kita mengenal organisasi sejenis diberbagai Negara seperti Mafia di
Rusia, cartel di Colombia ,
triad di Cina, dan Yakuza di Jepang. Begitu kuatnya jaringan organisasi
kejahatan tersebut sehingga orang-orang mereka bias menguasai berbagai sektor
kekuasaan, apakah itu eksekusf, legislatif maupun yudikatif termasuk aparat
penegak hukum.[1]
Tidak jarang suatu sindikat bias terbongkar karena salah
seorang dari mereka ada yang berkhianat. Artinya, salah seorang dari mereka
melakukan tindakan sendiri sebagai peniup peluit (whistleblower) untuk mengungkap kejahatan yang mereka lakukan
kepada publik atau aparat penegak hukum. Sebagai imbalannya whistleblower tersebut dibebaskan dari
segala tuntutan hukum.
Whistleblower berkembang diberbagai Negara dengan seperangkat aturan
masing-masing, diantaranya ialah :[2]
1.
Amerikat Serikat, whistleblower diatur dalam Whistleblower Act
1989, Whistleblower di Amerika
Serikat dilindungi dari pemecatan, penurunan pangkat, pemberhentian sementara,
ancaman, gangguan dan tindak diskriminasi.
2.
Afrika Selatan, Whistleblower diatur dalam Pasal 3 Protected Dsdosures Act Nomor 26 Tahun
2000, Whistleblower diberi
perlindungan dari accupational detriment atau
kerugian yang berhubungan dengan jabatan atau pekerjaan.
3.
Canada, Whistleblower diatur dalam Section
425.1 Criminal Code of Canada.
Whistleblower dilindungi dari pemberi pekerjaan yang memberikan hukuman
disiplin, menurunkan pangkat, memecat atau melakukan tindakan apapun yang
merugikan dari segi pekerjaan dengan tujuan untuk mencegah pekerja memberikan
informasi kepada pemerintah atau badan pelaksanaan hukum atau untuk membalas
pekerja yang memberikan informasi.
4.
Australia ,
Whistleblower diatur dalam Pasal 20
dan Pasal 21 Protected Dsdosures Act 1994.
Whistleblower identitasnya dirahasiakan,
tidak ada pertanggungjawban secara pidana atau perdata, perlindungan dari
penceraman nama baik perlindungan dari pihak pembalasan dan perlindungan
kondisional apabila namanya dipublikasikan ke media.
5.
Inggris, Whistleblower diatur Pasal 1 dan Pasal 2 Public Interes Disclouse Act 1998. Whistleblower tidak boleh dipecah dan dilindungi dari viktimisasi serta perlakuan yang
merugikan.
[1] Eddy O.S.
Hiariej,Legal Opin:Permohonan Pengujian Pasal
10Ayat(2)Undang-undang Nomor 13
Tahun 2006
tentang Perlindungan Saksidan Korban,
Newslette Komisi Hukum
Nasional ,Vol. 10
No.6 tahun
2010, Hlm.23
3 Ibid.
Mengenal WhistleBlower
Seorang whistleblower seringkali dipahami
sebagai saksi pelapor. Orang yang memberikan laporan atau kesaksian mengenai
suatu dugaan tindak pidana kepada aparat penegak hukum dalam proses peradilan pidana.
Namun untuk disebut sebagai whistleblower, saksi tersebut setidaknya harus
memenuhi dua kriteria mendasar.
Kriteria pertama, whistleblower menyampaikan
atau mengungkap laporan kepada otoritas yang berwenang atau kepada media massa
atau publik. Dengan mengungkapkan kepada otoritas yang berwenang atau media
massa diharapkan dugaan suatu kejahatan dapat diungkap dan terbongkar.
Kriteria kedua, seorang whistleblower merupakan
orang ‘dalam’, yaitu orang yang mengungkap dugaan pelanggaran dan kejahatan
yang terjadi di tempatnya bekerja atau ia berada. Karena skandal
kejahatan selalu terorganisir, maka seorang whistleblower kadang
merupakan bagian dari pelaku kejahatan atau kelompok mafia itu sendiri. Dia
terlibat dalam skandal lalu mengungkapkan kejahatan yang terjadi.[1]
[1] Abdul Haris Semendawai, Ferry Santoso, Wahyu Wagiman, Betty Itha
Omas, Susilaningtias, Syahrial Martanto Wiryawan. Op. Cit. hlm. 1-2
Kumpulan Judul Skripsi Pidana Buku II
1.
Tinjauan Yuridis Praktek Persekongkolan
Tidak Sehat Dalam Tender Proyek
2.
Pelanggaran Prinsip Miranda Rule
(Pendampingan Penasihat Hukum) Dalam Praktik Peradilan Pidana di Indonesia
3.
Perlindungan Atas Korban dalam Pelanggaran
HAM Berat dari Aspek Hukum Positif dan Hukum Internasional
4.
Tindak Pidana Korupsi Ditinjau Dari
Perspektif Hukum Islam
5.
Euthanasia Ditinjau Dari Segi Medis dan
Hukum Pidana
6.
Tinjauan Yuridis Atas Pengajuan Grasi
Dalam Kajian Pidana
7.
Penayangan Iklan Supranatural di Media
Televisi Ditinjau Dari Etika Pariwara dan Kajian Pidana
8.
Tindak Pidana Cyber Crime Dalam Perspektif
Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008
9.
Tinjauan Atas Pemberitaan Yang Berindikasi
Adanya Pencemaran Nama Baik Oleh Media Massa Dalam Perspektif Kode Etik
Jurnalistik dan Undang-undang Pers
10.
Tindakan Diskresi Polisi Dalam Pelaksanaan
Tugas Penyidikan Pidana
11.
Tinjauan Yuridis Penyembunyian Identitas
Pelaku Tindak Pidana Oleh Pers Dalam Acara Bertema Investigasi Kriminal
12.
Penerapan Sanksi Pidana Bagi Anak di Bawah
Umur
13.
Pembuktian Tindak Pidana Pemalsuan Data
Dalam Informasi dan Transaksi Elektronik
14.
Tinjauan Pidana Penegakan UU No. 5 Tahun
1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem Dalam Pelaksanaan
Konservasi Taman Nasional Bali
15.
Tinjauan Atas Tindakan Aborsi dengan Dalih
Indikasi Medis Karena Terjadinya Kehamilan Akibat Perkosaan Incest
16.
Tinjauan Yuridis Pelanggaran Rahasia
Kedokteran
17.
Tinjauan Atas Penyalahgunaa Ijin Bebas
Visa Kunjungan Singkat (BVKS) Bagi Warga Negara Asing
18.
Pertanggungjawaban Tindak Pidana
Penyalahgunaan Kartu Kredit Orang Lain
19.
Hubungan Kausalitas Dalam Pembuktian
Tindak Pidana Pembunuhan
20.
Analisis Yuridis Pemalsuan Surat
Persetujuan Istri Dalam Melakukan Poligami
21.
Perlindungan Nasabah Bank Dalam Penggunaan
Internet Banking Atas Terjadinya Cyber crime
22.
Tinjauan Yuridis Keabsahan Pengajuan
Kasasi Atas Putusan Praperadilan
23.
Pelaksanaan Prinsip Mengenal Nasabah Dalam
Transaksi Perbankan
24.
Penjatuhan Pidana Mati Dalam Sistem Hukum
Indonesia
25.
Peranan Kepolisian Dalam Tindak Pidana
Hacking Terhadap Perbankan
26.
Tinjauan Atas Pengajuan Praperadilan oleh
Pihak Ketiga Atas Penghentian Penyidikan Atau Penuntutan Dalam Perkara Korupsi
27.
Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan
Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Illegal Logging
28.
Penegakan Hukum Pidana Dalam Kasus Illegal
Logging Berdasarkan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
29.
Tinjauan Yuridis Atas Kasus Pembunuhan
Berencana Yang didahului Tindak Pidana Perkosaan
30.
Tinjauan Atas Permohonan Kasasi Winai
Nakprasit dan Sawong Tiectacun Dalam Perkara Illegal Fishing
31.
Analisa Pertanggungjawaban Penyidik Polri
dan Upaya Hukum Yang Dilakukan Oleh Terpidana dalam Hal Terjadinya Salah
Tangkap atau Error in Persona
32.
Pertanggungjawaban Dalam Pelaksanaan
Kewenangan Tembak Di Tempat Yang Dimiliki Oleh Kepolisian Republik Indonesia
33.
Pertanggungjawaban Dalam Pelaksanaan
Kewenangan Tembak Di Tempat Yang Dimiliki Oleh Kepolisian Republik Indonesia
34.
Bantuan Hukum Terhadap Tersangka Dalam
Penyidikan Perkara Perpajakan
35.
Implementasi Kewenangan Polisi Untuk
Melakukan Kegiatan Pengambilan Sidik Jari Dengan Teknik Daktiloskopi Dalam
Penyidikan Perkara Pidana
36.
Kuasa Hukum Pada Pengadilan Pajak
37.
Peranan Visum et Repertum Dalam Pembuktian
Tindak Pidana Menghilangkan Nyawa Orang Dengan Racun
38.
Tinjauan Yuridis Terhadap Profesi Artis Di
Bawah Umur Sebagai Suatu Bentuk Eksploitasi Terhadap Anak
39.
Kekuatan Kesaksian Yang Berdiri Sendiri
Dalam Proses Persidangan
40.
Usaha-Usaha Bank Indonesia Dalam Menanggulangi
Peredaran Uang Palsu Di Indonesia Berdasarkan Pasal 244 dan 245 KUHP
41.
Studi Komparasi Pembuktian Terbalik Antara
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
42.
Analisis Mengenai Eksistensi Pidana Mati
di Indonesia (Suatu Kajian dari Pengaruh Psikologis Bagi Masyarakat)
43.
Peranan Ilmu Forensik Dalam Usaha
Memecahkan Kasus-Kasus Kriminalitas
44.
Peranan Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan (PPATK) Dalam Mencegah dan Memberantas Tindak Pidana
Pencucian Uang (Money Laundring)
45.
Tindak Pidana Pencurian Dengan Kekerasan
46.
Perlindungan Hukum Bagi Saksi Pengungkap
Fakta (Whistleblower) Dalam Perkara Pidana (Analisis Yuridis Terhadap
Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban)
47.
Penyertaan Modal Sementara Oleh Lembaga
Penjamin Simpanan Sebagai Upaya Penyelamatan Bank Gagal (Studi Kasus: PT. Bank
Century Tbk.)
Read more:
Langganan:
Postingan (Atom)