Jumat, 26 Oktober 2012

HAK-HAK WHISTLEBLOWER


Hak-hak whistleblower yang juga seorang saksi (pelapor) telah diatur dalam UU No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Haknya meliputi:
1.      Memperoleh perlindungan dari lembaga perlindungan saksi. Bahkan, keluarga whistleblower pun bisa memperoleh perlindungan. Bentuk perlindungan pun bermacam-macam. Misalnya, mendapat identitas baru, tempat kediaman baru yang aman (safe house), pelayanan psikologis, dan biaya hidup selama masa perlindungan.
2.   Memberikan keterangan atau kesaksian mengenai suatu pelanggaran atau kejahatan yang diketahui dengan bebas, tanpa rasa takut atau terancam.
3.  Mendapatkan informasi mengenai tindaklanjut atau perkembangan penanganan Lembaga Perlindungan Saksi terhadap pelanggaran atau kejahatan yang telah diungkap.
4.      Mendapatkan balas jasa atau reward dari negara atas kesaksian yang telah diungkap karena kesaksian mampu membongkar suatu kejahatan yang lebih besar.

Sejarah WhistleBlower di Berbagai Negara


Menurut sejarahnya, whistleblower sangat erat kaitanya dengan organisasi kejahatan ala mafia sebagai organisasi kejahatan tertua dan terbesar di Italia yang berasal dari Palermo, Sicilia, sehingga sering disebut Sicilian Mafia atau Cosa Nostra.
Kejahatan terorganisasi yang dilakukan oleh para Mafioso (sebutan terhadap anggota mafia) bergerak dibidang perdagangan heroin dan berkembang diberbagai belahan dunia, sehingga kita mengenal organisasi sejenis diberbagai Negara seperti Mafia di Rusia, cartel di Colombia, triad di Cina, dan Yakuza di Jepang. Begitu kuatnya jaringan organisasi kejahatan tersebut sehingga orang-orang mereka bias menguasai berbagai sektor kekuasaan, apakah itu eksekusf, legislatif maupun yudikatif termasuk aparat penegak hukum.[1]
Tidak jarang suatu sindikat bias terbongkar karena salah seorang dari mereka ada yang berkhianat. Artinya, salah seorang dari mereka melakukan tindakan sendiri sebagai peniup peluit (whistleblower) untuk mengungkap kejahatan yang mereka lakukan kepada publik atau aparat penegak hukum. Sebagai imbalannya whistleblower tersebut dibebaskan dari segala tuntutan hukum.
Whistleblower berkembang diberbagai Negara dengan seperangkat aturan masing-masing, diantaranya ialah :[2]
1.      Amerikat Serikat, whistleblower diatur dalam Whistleblower Act 1989, Whistleblower di Amerika Serikat dilindungi dari pemecatan, penurunan pangkat, pemberhentian sementara, ancaman, gangguan dan tindak diskriminasi.
2.      Afrika Selatan, Whistleblower diatur dalam Pasal 3 Protected Dsdosures Act Nomor 26 Tahun 2000, Whistleblower diberi perlindungan dari accupational detriment atau kerugian yang berhubungan dengan jabatan atau pekerjaan.

3.      Canada, Whistleblower diatur dalam Section 425.1 Criminal Code of Canada. Whistleblower dilindungi dari pemberi pekerjaan yang memberikan hukuman disiplin, menurunkan pangkat, memecat atau melakukan tindakan apapun yang merugikan dari segi pekerjaan dengan tujuan untuk mencegah pekerja memberikan informasi kepada pemerintah atau badan pelaksanaan hukum atau untuk membalas pekerja yang memberikan informasi.
4.      Australia, Whistleblower diatur dalam Pasal 20 dan Pasal 21 Protected Dsdosures Act 1994.  Whistleblower identitasnya dirahasiakan, tidak ada pertanggungjawban secara pidana atau perdata, perlindungan dari penceraman nama baik perlindungan dari pihak pembalasan dan perlindungan kondisional apabila namanya dipublikasikan ke media.
5.      Inggris, Whistleblower diatur Pasal 1 dan Pasal 2 Public Interes Disclouse Act 1998. Whistleblower tidak boleh dipecah dan dilindungi dari viktimisasi serta perlakuan yang merugikan.



[1]  Eddy O.S. Hiariej,Legal Opin:Permohonan Pengujian Pasal 10Ayat(2)Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksidan Korban, Newslette Komisi Hukum Nasional ,Vol. 10 No.6 tahun 2010, Hlm.23
3   Ibid.

Mengenal WhistleBlower


Seorang whistleblower seringkali dipahami sebagai saksi pelapor. Orang yang memberikan laporan atau kesaksian mengenai suatu dugaan tindak pidana kepada aparat penegak hukum dalam proses peradilan pidana. Namun untuk disebut sebagai whistleblower, saksi tersebut setidaknya harus memenuhi dua kriteria mendasar.
Kriteria pertama, whistleblower menyampaikan atau mengungkap laporan kepada otoritas yang berwenang atau kepada media massa atau publik. Dengan mengungkapkan kepada otoritas yang berwenang atau media massa diharapkan dugaan suatu kejahatan dapat diungkap dan terbongkar.
Kriteria kedua, seorang whistleblower merupakan orang ‘dalam’, yaitu orang yang mengungkap dugaan pelanggaran dan kejahatan yang terjadi di tempatnya bekerja atau ia berada. Karena skandal kejahatan selalu terorganisir, maka seorang whistleblower kadang merupakan bagian dari pelaku kejahatan atau kelompok mafia itu sendiri. Dia terlibat dalam skandal lalu mengungkapkan kejahatan yang terjadi.[1]


[1] Abdul Haris Semendawai, Ferry Santoso, Wahyu Wagiman, Betty Itha Omas, Susilaningtias, Syahrial Martanto Wiryawan. Op. Cit. hlm. 1-2

Kumpulan Judul Skripsi Pidana Buku II


1.      Tinjauan Yuridis Praktek Persekongkolan Tidak Sehat Dalam Tender Proyek
2.      Pelanggaran Prinsip Miranda Rule (Pendampingan Penasihat Hukum) Dalam Praktik Peradilan Pidana di Indonesia
3.      Perlindungan Atas Korban dalam Pelanggaran HAM Berat dari Aspek Hukum Positif dan Hukum Internasional
4.      Tindak Pidana Korupsi Ditinjau Dari Perspektif Hukum Islam
5.      Euthanasia Ditinjau Dari Segi Medis dan Hukum Pidana
6.      Tinjauan Yuridis Atas Pengajuan Grasi Dalam Kajian Pidana
7.      Penayangan Iklan Supranatural di Media Televisi Ditinjau Dari Etika Pariwara dan Kajian Pidana
8.      Tindak Pidana Cyber Crime Dalam Perspektif Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008
9.      Tinjauan Atas Pemberitaan Yang Berindikasi Adanya Pencemaran Nama Baik Oleh Media Massa Dalam Perspektif Kode Etik Jurnalistik dan Undang-undang Pers
10.  Tindakan Diskresi Polisi Dalam Pelaksanaan Tugas Penyidikan Pidana
11.  Tinjauan Yuridis Penyembunyian Identitas Pelaku Tindak Pidana Oleh Pers Dalam Acara Bertema Investigasi Kriminal
12.  Penerapan Sanksi Pidana Bagi Anak di Bawah Umur
13.  Pembuktian Tindak Pidana Pemalsuan Data Dalam Informasi dan Transaksi Elektronik
14.  Tinjauan Pidana Penegakan UU No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem Dalam Pelaksanaan Konservasi Taman Nasional Bali
15.  Tinjauan Atas Tindakan Aborsi dengan Dalih Indikasi Medis Karena Terjadinya Kehamilan Akibat Perkosaan Incest
16.  Tinjauan Yuridis Pelanggaran Rahasia Kedokteran
17.  Tinjauan Atas Penyalahgunaa Ijin Bebas Visa Kunjungan Singkat (BVKS) Bagi Warga Negara Asing
18.  Pertanggungjawaban Tindak Pidana Penyalahgunaan Kartu Kredit Orang Lain
19.  Hubungan Kausalitas Dalam Pembuktian Tindak Pidana Pembunuhan
20.  Analisis Yuridis Pemalsuan Surat Persetujuan Istri Dalam Melakukan Poligami
21.  Perlindungan Nasabah Bank Dalam Penggunaan Internet Banking Atas Terjadinya Cyber crime
22.  Tinjauan Yuridis Keabsahan Pengajuan Kasasi Atas Putusan Praperadilan
23.  Pelaksanaan Prinsip Mengenal Nasabah Dalam Transaksi Perbankan
24.  Penjatuhan Pidana Mati Dalam Sistem Hukum Indonesia
25.  Peranan Kepolisian Dalam Tindak Pidana Hacking Terhadap Perbankan
26.  Tinjauan Atas Pengajuan Praperadilan oleh Pihak Ketiga Atas Penghentian Penyidikan Atau Penuntutan Dalam Perkara Korupsi
27.  Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Illegal Logging
28.  Penegakan Hukum Pidana Dalam Kasus Illegal Logging Berdasarkan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
29.  Tinjauan Yuridis Atas Kasus Pembunuhan Berencana Yang didahului Tindak Pidana Perkosaan
30.  Tinjauan Atas Permohonan Kasasi Winai Nakprasit dan Sawong Tiectacun Dalam Perkara Illegal Fishing
31.  Analisa Pertanggungjawaban Penyidik Polri dan Upaya Hukum Yang Dilakukan Oleh Terpidana dalam Hal Terjadinya Salah Tangkap atau Error in Persona
32.  Pertanggungjawaban Dalam Pelaksanaan Kewenangan Tembak Di Tempat Yang Dimiliki Oleh Kepolisian Republik Indonesia
33.  Pertanggungjawaban Dalam Pelaksanaan Kewenangan Tembak Di Tempat Yang Dimiliki Oleh Kepolisian Republik Indonesia
34.  Bantuan Hukum Terhadap Tersangka Dalam Penyidikan Perkara Perpajakan
35.  Implementasi Kewenangan Polisi Untuk Melakukan Kegiatan Pengambilan Sidik Jari Dengan Teknik Daktiloskopi Dalam Penyidikan Perkara Pidana
36.  Kuasa Hukum Pada Pengadilan Pajak
37.  Peranan Visum et Repertum Dalam Pembuktian Tindak Pidana Menghilangkan Nyawa Orang Dengan Racun
38.  Tinjauan Yuridis Terhadap Profesi Artis Di Bawah Umur Sebagai Suatu Bentuk Eksploitasi Terhadap Anak
39.  Kekuatan Kesaksian Yang Berdiri Sendiri Dalam Proses Persidangan
40.  Usaha-Usaha Bank Indonesia Dalam Menanggulangi Peredaran Uang Palsu Di Indonesia Berdasarkan Pasal 244 dan 245 KUHP
41.  Studi Komparasi Pembuktian Terbalik Antara Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
42.  Analisis Mengenai Eksistensi Pidana Mati di Indonesia (Suatu Kajian dari Pengaruh Psikologis Bagi Masyarakat)
43.  Peranan Ilmu Forensik Dalam Usaha Memecahkan Kasus-Kasus Kriminalitas
44.  Peranan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Dalam Mencegah dan Memberantas Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundring)
45.  Tindak Pidana Pencurian Dengan Kekerasan
46.  Perlindungan Hukum Bagi Saksi Pengungkap Fakta (Whistleblower) Dalam Perkara Pidana (Analisis Yuridis Terhadap Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban)
47.  Penyertaan Modal Sementara Oleh Lembaga Penjamin Simpanan Sebagai Upaya Penyelamatan Bank Gagal (Studi Kasus: PT. Bank Century Tbk.)
Read more:

Kumpulan Judul Skripsi Pidana Buku I

Bisa buat Refrensi nih, cekidot:


Kumpulan judul-judul skripsi hukum pidana
1.      Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Anak
2.      Kajian Kriminologis Perilaku Jahat Anak-Anak
3. Suatu Tinjauan Yuridis Atas Kasus Pencabulan Dalam Putusan Pengadilan Negeri No.1050/Pid/B/2004/PN/Sby
4.    Analisa Pertanggungjawaban Pidana Pemilik Website atas Cyberporn Ditinjau dari KUHP dan UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi
5.      Eksistensi Pidana Denda dan Pemidanaan dalam Konteks Kitab Undang-undang Hukum Pidana
6.      Kajian Kriminologis Tindak Pidana Penganiayaan Terhadap Istri
7.      Tinjauan Hukum Pelaksanaan Pengadilan HAM Ad Hoc Terhadap Prinsip Asas Lagalitas
8.   Kewenangan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Penyelenggara Negara
9.      Kedudukan Rekam Medis Dalam Pembuktian Perkara Malpraktek di Bidang Kedokteran
10.  Kekerasan Seksual Yang Dilakukan Suami Terhadap Istrinya
11.  Kajian Yuridis Pelaku Tindak Pidana Narkotika
12.  Pertimbangan Hukum Pengadilan Militer Terhadap Anggota Militer Yang Menyalahgunakan Narkotika dan Psikotropika
13.  Penyelesaian Pelanggaran Kode Etik Profesi Berupa Tindak Pidana Yang Dilakukan Oleh Anggota Kepolisian Republik Indonesia
14.  Tindak Pidana Pornografi Dalam Perspektif Hukum Islam
15.  Peranan Laboratorium Forensik Dalam Pembuktian Alat Bukti Terhadap Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika dan Psikotropika Untuk Tingkat Penyidikan
16.  Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasrakatan Porong Sidoarjo
17.  Pembuktian Pidana Melalui Short Message Service Berdasarkan KUHAP
18.  Keabsahan Kesaksian Yang Disampaikan Secara Teleconference Di Persidangan Menurut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
19.  Pertanggungjawaban Pemilik Senjata Api Legal Yang Disalahgunakan Oleh Orang Lain
20.  Peranan Visum et Repertum Pada Tahap Penyidikan Dalam Mengungkap Tindak Pidana Pemerkosaan
21.  Peranan Penyidik Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Narkoba
22.  Tinjauan Tentang Pencabutan Keterangan Terdakwa Dalam Persidangan dan Implikasi Yuridisnya Terhadap Kekuatan Alat Bukti
23.  Tinjauan Yuridis Kasus Penghentian Penyidikan Atas Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia Oleh Kejaksaan Agung
24.  Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Phedofilia
25.  Peran Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Dalam Mengawasi Tender BUMD di Sumatera Utara

Tentang Korban


Berbicara masalah korban tidak akan lepas dengan kajian ilmu viktimologi. Viktimologi secara etimologis berarti korban dan logos (pengetahuan) berarti ilmu pengetahuan. Dengan demikian viktimologi adalah pengetahuan atau ilmu pengetahuan tentang korban. Oleh Zvonimir-Paul Separovic viktimologi didefinisikan sebagai ilmu yang berkaitan dengan studi terhadap korban (victimology refers to sciene dealing with the study of victim). Berdasarkan definisi tersebut maka kajian viktimologi adalah korban. Kata korban sendiri dapat memiliki banyak arti yang bervariasi serta berkembang sehingga dapat pula memberi makna beragam.
Dalam webster misalnya, korban dapat diartikan sebagai:
1.      Suatu makhluk hidup yang dikorbankan kepada dewa atau dalam melaksanakan upacara agama;
2.      Seseorang yang dibunuh, didenda, dianiaya oleh orang lain, sesorang yang mengalami penindasan, kerugian atau penderitaan;
3.      Seseorang yang mengalami kematian, atau luka-luka dalam berusaha menyelamatkan diri;
4.      Seseorang yang diperdaya, ditipu atau mengalami penderitaan; seseorang yang dipekerjakan atau dimanfaatkan secara sewenang-wenang atau tidak layak.
Dalam kamus Umum Bahas Indonesia dari Poerwadarminta mengartikan korban sebagai:
1.      Pemberian untuk menyatakan kebaktian (kerelaan hati dsb);
2.      Orang yang menderita kecelakaan karena perbuatan (hawa nafsu dsb);
3.      Orang yang mati;
4.      Orang yang mati karena menderita kecelakaan, karena tertimpa bencana alam seoerti banjir, gempa bumi, dsb.
Pengertian korban tersebut berdasarkan makna secara hakikatnya atau secara umumnya. Sementara pengertian korban secara keilmuan (victimological), tidak termasuk dalam pengertian korban secara umum. Menurut Iswabto, bahwa korban merupakan akibat perbuataan disengaja atau kelalaian, kemauan sukarela atau dipaksa atau diti[pu, bencana alam, dan semuanya benar-benar berisi sifat penderitan jiwa, raga, harta, dan morel serta sifat ketidakadilan.[1]
Jika didefinisikan secara hukum, pengertian korban terdapat dalam UU nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan saksi dan korban. Dalam UU tersebut dikatakan bahwa Menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan korban, korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.
Hak-Hak Korban.
Apabila kita cermati mengenai hak-hak korban yang tertuang di dalam KUHAP, maka di dapat pengaturan hak-hak bagi korban sangat minim sekali di bandingkan dengan pengaturan tentang hak-hak pelaku tindak pidana (tersangka/terdakwa/terpidana). Perlindungan hukum lebih banyak di atur untuk pelaku tindak pidana, sebagaimana tampak dalam berbagai Pasal tersebut di atas dibandingkan dengan kepentingan korban yang mengalami penderitaan dari
perbuatan pelaku tindak pidana.
Jika kita mencatat hak-hak korban yang ada dalam KUHAP, maka terdapat hanya 4 (empat) aspek, yaitu:[2]
1.      Hak untuk melakukan kontrol terhadap tindakan penyidik dan penuntut umum, yakni hak mengajukan keberatan atas tindakan penghentian penyidikan dan/atau penuntutan dalam kapasitasnya sebagai pihak ketiga yang berkepentingan. Ini di atur dalam Pasal 109 dan Pasal 140 ayat (2) KUHAP;
2.      Hak korban dalam kedudukannya sebagai saksi, sebagaimana di jumpai dalam Pasal 168 KUHAP;
3.      Hak bagi keluarga korban dalam hal korbanmeninggal dunia, untuk  mengijinkan atau tidak atas tindakan polisi melakukan bedah mayat atau penggalian kubur untuk otopsi. Hak demikian di atur dalam Pasal 134 sampai 136 KUHAP;
4.      Hak menuntut ganti rugi atas kerugan yang di derita dari akibat tindak pidana dalam kapasitasnya sebagai pihak yang dirugikan. Dapat dijumpai dalam Pasal 98 sampai dengan Pasal 101 KUHAP.
Korban tidak termasuk dalam bagian dari unsur yang terlibat dalam sistem peradilan pidana, tidak sebagaimana terdakwa, polisi dan jaksa. Hal tersebut berakibat bagi korban tindak pidana tidak mempunyai upaya hukum, apabila ia keberatan terhadap suatu putusan pengadilan, misalnya banding atau kasasi apabila putusan pengadilan yang di pandang tidak adil atau merugikan dirinya.[3]
Sementara dalam aturan yuridis, Seorang Saksi dan Korban berhak:[4]
a.       memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;
b.      ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;
c.       memberikan keterangan tanpa tekanan;
d.      mendapat penerjemah;
e.       bebas dari pertanyaan yang menjerat;
f.       mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus;
g.      mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan;
h.      mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;
i.        mendapat identitas baru;
j.        mendapatkan tempat kediaman baru;
k.      memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;
l.        mendapat nasihat hukum; dan/atau
m.    memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir.


[1] Iswanto, Op. Cit, hlm. 8.
[2] Mudzakkir, Op cit, hlm. 76-77.
[3] Ibid.
[4] Lihat Pasal 5 UU Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Sejarah Bantuan Hukum


Adanya lembaga bantuan hukum di negara Indonesia, tidak lepas dari negara dimana bantuan hukum berasal. Bantuan hukum bagi seseorang yang tidak mampu muncul di negara-negara yang notabenenya negara maju. Bantuan hukum itu sendiri mempunyai ciri dalam istilah yang berbeda seperti yang dilihat di bawah ini:[1]
1.      Legal aid, yang berarti pemberian jasa di bidang hukum kepada seseorang yang terlibat dalam kasus atau perkara:
a.      Pemberian jasa bantuan hukum dilakukan dengan cara cuma-cuma;
b.      Bantuan jasa hukum dalam legal aid lebih dikhususkan bagi yang tidak mampu dalam lapisan masyarakat miskin;
c.       Dengan demikian motivasi utama dalam konsep legal iad adalah menegakkan hukum dengan jalan membela kepentingan dan hak asasi rakyat kecil yang tak mempunyai dan buta hukum.
2.      Legal assistance, yang mengandung pengertian lebih luas lagi dari legal aid. Karena pada legal assistance, di samping mengandung makna dan tujuan memberi jasa bantuan hukum, lebih dekat dengan pengertian yang kita kenal dengan profesi advokad, yang memberi bantuan:
a.      Baik kepada mereka yang mampu membayar prestasi;
b.      Maupun pemberian bantuan kepada rakyat miskin secara cuma-cuma.
3.      Legal service, Dapat diterjemahkan sebagai pelayanan hukum. Pada umumnya orang lebih cenderung memberi pengertian yang lebih luas kepada konsep dan makan legal service dibandingkan dengan konsep tujuan legal aid dan legal assistance.


[1] M. Yahya Harahap, Op. Cit, hlm. 333