Jumat, 26 Oktober 2012

Tentang Korban


Berbicara masalah korban tidak akan lepas dengan kajian ilmu viktimologi. Viktimologi secara etimologis berarti korban dan logos (pengetahuan) berarti ilmu pengetahuan. Dengan demikian viktimologi adalah pengetahuan atau ilmu pengetahuan tentang korban. Oleh Zvonimir-Paul Separovic viktimologi didefinisikan sebagai ilmu yang berkaitan dengan studi terhadap korban (victimology refers to sciene dealing with the study of victim). Berdasarkan definisi tersebut maka kajian viktimologi adalah korban. Kata korban sendiri dapat memiliki banyak arti yang bervariasi serta berkembang sehingga dapat pula memberi makna beragam.
Dalam webster misalnya, korban dapat diartikan sebagai:
1.      Suatu makhluk hidup yang dikorbankan kepada dewa atau dalam melaksanakan upacara agama;
2.      Seseorang yang dibunuh, didenda, dianiaya oleh orang lain, sesorang yang mengalami penindasan, kerugian atau penderitaan;
3.      Seseorang yang mengalami kematian, atau luka-luka dalam berusaha menyelamatkan diri;
4.      Seseorang yang diperdaya, ditipu atau mengalami penderitaan; seseorang yang dipekerjakan atau dimanfaatkan secara sewenang-wenang atau tidak layak.
Dalam kamus Umum Bahas Indonesia dari Poerwadarminta mengartikan korban sebagai:
1.      Pemberian untuk menyatakan kebaktian (kerelaan hati dsb);
2.      Orang yang menderita kecelakaan karena perbuatan (hawa nafsu dsb);
3.      Orang yang mati;
4.      Orang yang mati karena menderita kecelakaan, karena tertimpa bencana alam seoerti banjir, gempa bumi, dsb.
Pengertian korban tersebut berdasarkan makna secara hakikatnya atau secara umumnya. Sementara pengertian korban secara keilmuan (victimological), tidak termasuk dalam pengertian korban secara umum. Menurut Iswabto, bahwa korban merupakan akibat perbuataan disengaja atau kelalaian, kemauan sukarela atau dipaksa atau diti[pu, bencana alam, dan semuanya benar-benar berisi sifat penderitan jiwa, raga, harta, dan morel serta sifat ketidakadilan.[1]
Jika didefinisikan secara hukum, pengertian korban terdapat dalam UU nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan saksi dan korban. Dalam UU tersebut dikatakan bahwa Menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan korban, korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.
Hak-Hak Korban.
Apabila kita cermati mengenai hak-hak korban yang tertuang di dalam KUHAP, maka di dapat pengaturan hak-hak bagi korban sangat minim sekali di bandingkan dengan pengaturan tentang hak-hak pelaku tindak pidana (tersangka/terdakwa/terpidana). Perlindungan hukum lebih banyak di atur untuk pelaku tindak pidana, sebagaimana tampak dalam berbagai Pasal tersebut di atas dibandingkan dengan kepentingan korban yang mengalami penderitaan dari
perbuatan pelaku tindak pidana.
Jika kita mencatat hak-hak korban yang ada dalam KUHAP, maka terdapat hanya 4 (empat) aspek, yaitu:[2]
1.      Hak untuk melakukan kontrol terhadap tindakan penyidik dan penuntut umum, yakni hak mengajukan keberatan atas tindakan penghentian penyidikan dan/atau penuntutan dalam kapasitasnya sebagai pihak ketiga yang berkepentingan. Ini di atur dalam Pasal 109 dan Pasal 140 ayat (2) KUHAP;
2.      Hak korban dalam kedudukannya sebagai saksi, sebagaimana di jumpai dalam Pasal 168 KUHAP;
3.      Hak bagi keluarga korban dalam hal korbanmeninggal dunia, untuk  mengijinkan atau tidak atas tindakan polisi melakukan bedah mayat atau penggalian kubur untuk otopsi. Hak demikian di atur dalam Pasal 134 sampai 136 KUHAP;
4.      Hak menuntut ganti rugi atas kerugan yang di derita dari akibat tindak pidana dalam kapasitasnya sebagai pihak yang dirugikan. Dapat dijumpai dalam Pasal 98 sampai dengan Pasal 101 KUHAP.
Korban tidak termasuk dalam bagian dari unsur yang terlibat dalam sistem peradilan pidana, tidak sebagaimana terdakwa, polisi dan jaksa. Hal tersebut berakibat bagi korban tindak pidana tidak mempunyai upaya hukum, apabila ia keberatan terhadap suatu putusan pengadilan, misalnya banding atau kasasi apabila putusan pengadilan yang di pandang tidak adil atau merugikan dirinya.[3]
Sementara dalam aturan yuridis, Seorang Saksi dan Korban berhak:[4]
a.       memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;
b.      ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;
c.       memberikan keterangan tanpa tekanan;
d.      mendapat penerjemah;
e.       bebas dari pertanyaan yang menjerat;
f.       mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus;
g.      mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan;
h.      mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;
i.        mendapat identitas baru;
j.        mendapatkan tempat kediaman baru;
k.      memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;
l.        mendapat nasihat hukum; dan/atau
m.    memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir.


[1] Iswanto, Op. Cit, hlm. 8.
[2] Mudzakkir, Op cit, hlm. 76-77.
[3] Ibid.
[4] Lihat Pasal 5 UU Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar