Berbicara masalah korban tidak akan lepas dengan
kajian ilmu viktimologi. Viktimologi secara etimologis berarti korban dan logos
(pengetahuan) berarti ilmu pengetahuan. Dengan demikian viktimologi adalah
pengetahuan atau ilmu pengetahuan tentang korban. Oleh Zvonimir-Paul Separovic
viktimologi didefinisikan sebagai ilmu yang berkaitan dengan studi terhadap
korban (victimology refers to sciene
dealing with the study of victim). Berdasarkan definisi tersebut maka
kajian viktimologi adalah korban. Kata korban sendiri dapat memiliki banyak
arti yang bervariasi serta berkembang sehingga dapat pula memberi makna
beragam.
Dalam webster misalnya, korban dapat diartikan
sebagai:
1. Suatu
makhluk hidup yang dikorbankan kepada dewa atau dalam melaksanakan upacara
agama;
2. Seseorang
yang dibunuh, didenda, dianiaya oleh orang lain, sesorang yang mengalami
penindasan, kerugian atau penderitaan;
3. Seseorang
yang mengalami kematian, atau luka-luka dalam berusaha menyelamatkan diri;
4. Seseorang
yang diperdaya, ditipu atau mengalami penderitaan; seseorang yang dipekerjakan
atau dimanfaatkan secara sewenang-wenang atau tidak layak.
Dalam kamus Umum Bahas Indonesia dari Poerwadarminta
mengartikan korban sebagai:
1. Pemberian
untuk menyatakan kebaktian (kerelaan hati dsb);
2. Orang
yang menderita kecelakaan karena perbuatan (hawa nafsu dsb);
3. Orang
yang mati;
4. Orang
yang mati karena menderita kecelakaan, karena tertimpa bencana alam seoerti
banjir, gempa bumi, dsb.
Pengertian korban tersebut berdasarkan makna secara
hakikatnya atau secara umumnya. Sementara pengertian korban secara keilmuan
(victimological), tidak termasuk dalam pengertian korban secara umum. Menurut
Iswabto, bahwa korban merupakan akibat perbuataan disengaja atau kelalaian,
kemauan sukarela atau dipaksa atau diti[pu, bencana alam, dan semuanya
benar-benar berisi sifat penderitan jiwa, raga, harta, dan morel serta sifat
ketidakadilan.[1]
Jika didefinisikan secara hukum, pengertian korban
terdapat dalam UU nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan saksi dan korban.
Dalam UU tersebut dikatakan bahwa Menurut
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi
Dan korban, korban adalah
seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.
Hak-Hak Korban.
Apabila kita cermati mengenai hak-hak korban yang
tertuang di dalam KUHAP, maka di dapat pengaturan hak-hak bagi korban sangat
minim sekali di bandingkan dengan pengaturan tentang hak-hak pelaku tindak
pidana (tersangka/terdakwa/terpidana). Perlindungan hukum lebih banyak di atur
untuk pelaku tindak pidana, sebagaimana tampak dalam berbagai Pasal tersebut di
atas dibandingkan dengan kepentingan korban yang mengalami penderitaan dari
perbuatan
pelaku tindak pidana.
Jika kita mencatat hak-hak korban yang ada dalam
KUHAP, maka terdapat hanya 4 (empat) aspek, yaitu:[2]
1. Hak
untuk melakukan kontrol terhadap tindakan penyidik dan penuntut umum, yakni hak
mengajukan keberatan atas tindakan penghentian penyidikan dan/atau penuntutan
dalam kapasitasnya sebagai pihak ketiga yang berkepentingan. Ini di atur dalam
Pasal 109 dan Pasal 140 ayat (2) KUHAP;
2. Hak
korban dalam kedudukannya sebagai saksi, sebagaimana di jumpai dalam Pasal 168
KUHAP;
3. Hak
bagi keluarga korban dalam hal korbanmeninggal dunia, untuk mengijinkan atau tidak atas tindakan polisi
melakukan bedah mayat atau penggalian kubur untuk otopsi. Hak demikian di atur
dalam Pasal 134 sampai 136 KUHAP;
4. Hak
menuntut ganti rugi atas kerugan yang di derita dari akibat tindak pidana dalam
kapasitasnya sebagai pihak yang dirugikan. Dapat dijumpai dalam Pasal 98 sampai
dengan Pasal 101 KUHAP.
Korban tidak termasuk dalam bagian dari unsur yang
terlibat dalam sistem peradilan pidana, tidak sebagaimana terdakwa, polisi dan
jaksa. Hal tersebut berakibat bagi korban tindak pidana tidak mempunyai upaya
hukum, apabila ia keberatan terhadap suatu putusan pengadilan, misalnya banding
atau kasasi apabila putusan pengadilan yang di pandang tidak adil atau
merugikan dirinya.[3]
Sementara dalam aturan yuridis, Seorang Saksi dan
Korban berhak:[4]
a. memperoleh
perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas
dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah
diberikannya;
b. ikut
serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan
keamanan;
c. memberikan
keterangan tanpa tekanan;
d. mendapat
penerjemah;
e. bebas
dari pertanyaan yang menjerat;
f. mendapatkan
informasi mengenai perkembangan kasus;
g. mendapatkan
informasi mengenai putusan pengadilan;
h. mengetahui
dalam hal terpidana dibebaskan;
i.
mendapat identitas baru;
j.
mendapatkan tempat kediaman baru;
k. memperoleh
penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;
l.
mendapat nasihat hukum; dan/atau
m. memperoleh
bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar