Tindak Pidana adalah dua
istilah yang terdiri dari dua kata yaitu tindakan dan pidana. Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Tindak adalah suatu
yang dilakukan, perbuatan. Sedangkan Pidana dalam kamus hukum adalah
hukuman (Pasal 5 KUHP).[1]
Sedangkan pengertian Hukum
Pidana
menurut Prof. Moeljanto adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang
mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:
1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak
boleh dilakukan dan yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang
berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.
2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada
mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi
pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan
pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar
larangan tersebut.[2]
Pengertian tindak
pidana yang di muat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) oleh
pembentuk undang-undang sering disebut dengan strafbaarfeit. Para pembentuk undang-undang tersebut
tidak memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai strafbaarfeit itu, maka dari itu terhadap
maksud dan tujuan mengenai strafbaarfeit tersebut sering dipergunakan
oleh pakar hukum pidana dengan istilah tindak pidana, perbuatan pidana,
peristiwa pidana, serta delik. Menurut Prof. Soedarto tidak masalah menggunakan
istilah yang mana, karena istilah ini sudah diterima dalam masyarakat, jadi
mempunyai sochiologche gelding.
UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA
Ada
beberapa pendapat para penulis mengenai pengertian tindak pidana (strafbaar feit), dan
disebutkan mengenai unsur-unsurnya. Golongan pertama adalah mereka yang bisa
dimasukkan ke dalam golongan “monistis” dan golongan kedua mereka yang
disebut sebagai golongan “dualistis”.
Salah satu tokoh monoistis adalah D. Simons. D. Simons
mengemukakan strafbaar feit adalah “een strafbaar gestelde,
onrechmatige, met schuld verband handeling van een toerekeningsvatbaar persoon”.
Jadi unsur-unsur strafbaar feit adalah:
1. Perbuatan manusia;
2. Diancam dengan pidana (stratbaar gesteld);
3. Melawan hukum (onrechtmatig);
4. Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand);
5. Oleh orang yang mampu
bertanggungjawab (toerekeningsvatbaar
persoon).
Simon
juga menyebutkan adanya unsur obyektif dan unsur subyektif dalam strafbaar feit. Yang disebut dalam unsur
obyektif adalah:
- Perbuatan orang;
- Akibat yang kelihatan dari
perbuatan itu;
- Mungkin ada keadaan tertentu
yang menyertai perbuatan itu seperti dalam Pasal 281 KUHP sifat “openbaar” atau “dimuka umum”.
Segi
subyektif dari strafbaar feit adalah:
- Orang yang mampu
bertanggungjawab;
- Adanya kesalahan (dolus atau culpa).
Perbuatan harus dilakukan dengan kesalahan. Kesalahan ini
dapat berhubungan dengan akibat dari perbuatan atau dengan keadaan-keadaan mana
perbuatan itu dilakukan. Sedangkan salah satu
tokoh aliran dulaistis adalah Moelyatno. Menurut Moelyatno, perbuatan pidana
adalah perbuatan yang diancam dengan pidana, barangsiapa melanggar larangan
tersebut, Dengan penjelasan untuk terjadinya perbuatan / tindak pidana harus
dipenuhi unsur-unsur sebagai berikut :
- Adanya
perbuatan ( manusia );
- Yang
memenuhi rumusan dalam undang-undang ( hal ini merupakan syarat formil,
terkait dengan berlakunya pasal 1 (1) KUHP ) ;
- Bersifat
melawan hukum ( hal ini merupakan syarat materiil, terkait dengan ikutnya
ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang Negatif ).
Secara Teoritis
adanya pembedaan dalam dua pandangan tersebut haruslah dicermati. Secara
Konseptual dua pandangan ini sama-sama dapat diikuti dalam memberikan
penjelasan tentang perbuatan pidana, tetapi apabila harus diikuti salah satu
pandangan, maka juga harus diikuti dan dipahami secara konsisten.
Apabila diikuti
pandangan Monistis, maka harus dipahami , bahwa dengan telah terjadinya tindak
pidana, maka syarat untuk adanya pidana sudah dipenuhi. Sementara apabila
pandangan dualistis, dengan telah terjadinya tidak pidana tidak berarti syarat
untuk adanya pidana sudah dipenuhi, sebab menurut pandangan dualistis tindak
pidana itu hanya menunjuk pada sifat dari perbuatan itu sendiri, yaitu sifat
dilarangnya perbuatan, tidak mencakup kesalahan, padahal syarat untuk adanya
pidana mutlak harus ada kesalahan.
Batasan /
pengertian dari dua pandangan tersebut haruslah dipahami oleh semua praktisi
hukum, karena tanpa memahami dari kedua pandangan tersebut yaitu pandangan
Monistis dan pandangan dualistis, akan mengantarkan kita kedalam “kerancuan
secara sitematis” dalam memahami suatu tindak pidana, yang pada gilirannya akan
menghasilkan pemahaman yang salah dalam memahami tindak pidana. Oleh karenanya,
pemahaman terhadap perbedaan dua pandangan tentang tindak pidana tersebut patut
menjadi perhatian bagi siapapun yang sedang mempelajari batas pengertian
tentang tindak pidana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar