Jumat, 26 Oktober 2012

Apakah Tindak Pidana itu??


Tindak Pidana adalah dua istilah yang terdiri dari dua kata yaitu tindakan dan pidana. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Tindak adalah suatu yang dilakukan, perbuatan. Sedangkan Pidana dalam kamus hukum adalah hukuman (Pasal 5 KUHP).[1] Sedangkan pengertian Hukum Pidana menurut Prof. Moeljanto adalah  bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:
1.     Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan dan yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.
2.     Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
3.     Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.[2]
Pengertian tindak pidana yang di muat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) oleh pembentuk undang-undang sering disebut dengan strafbaarfeit. Para pembentuk undang-undang tersebut tidak memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai strafbaarfeit itu, maka dari itu terhadap maksud dan tujuan mengenai strafbaarfeit tersebut sering dipergunakan oleh pakar hukum pidana dengan istilah tindak pidana, perbuatan pidana, peristiwa pidana, serta delik. Menurut Prof. Soedarto tidak masalah menggunakan istilah yang mana, karena istilah ini sudah diterima dalam masyarakat, jadi mempunyai sochiologche gelding.
UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA
Ada beberapa pendapat para penulis mengenai pengertian tindak pidana (strafbaar feit), dan disebutkan mengenai unsur-unsurnya. Golongan pertama adalah mereka yang bisa dimasukkan ke dalam golongan “monistis” dan golongan kedua mereka yang disebut sebagai golongan “dualistis”.
Salah satu tokoh monoistis adalah D. Simons. D. Simons mengemukakan strafbaar feit adalah “een strafbaar gestelde, onrechmatige, met schuld verband handeling van een toerekeningsvatbaar persoon”. Jadi unsur-unsur strafbaar feit adalah:
1.      Perbuatan manusia;
2.      Diancam dengan pidana (stratbaar gesteld);
3.      Melawan hukum (onrechtmatig);
4.      Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand);
5.      Oleh orang yang mampu bertanggungjawab (toerekeningsvatbaar persoon).
Simon juga menyebutkan adanya unsur obyektif dan unsur subyektif dalam strafbaar feit. Yang disebut dalam unsur obyektif adalah:
  1. Perbuatan orang;
  2. Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu;
  3. Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu seperti dalam Pasal 281 KUHP sifat “openbaar” atau “dimuka umum”.
Segi subyektif dari strafbaar feit adalah:
  1. Orang yang mampu bertanggungjawab;
  2. Adanya kesalahan (dolus atau culpa).
Perbuatan harus dilakukan dengan kesalahan. Kesalahan ini dapat berhubungan dengan akibat dari perbuatan atau dengan keadaan-keadaan mana perbuatan itu dilakukan. Sedangkan salah satu tokoh aliran dulaistis adalah Moelyatno. Menurut Moelyatno, perbuatan pidana adalah perbuatan yang diancam dengan pidana, barangsiapa melanggar larangan tersebut, Dengan penjelasan untuk terjadinya perbuatan / tindak pidana harus dipenuhi unsur-unsur sebagai berikut :
  1. Adanya perbuatan ( manusia );
  2. Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang ( hal ini merupakan syarat formil, terkait dengan berlakunya pasal 1 (1) KUHP ) ;
  3. Bersifat melawan hukum ( hal ini merupakan syarat materiil, terkait dengan ikutnya ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang Negatif ).

Secara Teoritis adanya pembedaan dalam dua pandangan tersebut haruslah dicermati. Secara Konseptual dua pandangan ini sama-sama dapat diikuti dalam memberikan penjelasan tentang perbuatan pidana, tetapi apabila harus diikuti salah satu pandangan, maka juga harus diikuti dan dipahami secara konsisten.
Apabila diikuti pandangan Monistis, maka harus dipahami , bahwa dengan telah terjadinya tindak pidana, maka syarat untuk adanya pidana sudah dipenuhi. Sementara apabila pandangan dualistis, dengan telah terjadinya tidak pidana tidak berarti syarat untuk adanya pidana sudah dipenuhi, sebab menurut pandangan dualistis tindak pidana itu hanya menunjuk pada sifat dari perbuatan itu sendiri, yaitu sifat dilarangnya perbuatan, tidak mencakup kesalahan, padahal syarat untuk adanya pidana mutlak harus ada kesalahan.
Batasan / pengertian dari dua pandangan tersebut haruslah dipahami oleh semua praktisi hukum, karena tanpa memahami dari kedua pandangan tersebut yaitu pandangan Monistis dan pandangan dualistis, akan mengantarkan kita kedalam “kerancuan secara sitematis” dalam memahami suatu tindak pidana, yang pada gilirannya akan menghasilkan pemahaman yang salah dalam memahami tindak pidana. Oleh karenanya, pemahaman terhadap perbedaan dua pandangan tentang tindak pidana tersebut patut menjadi perhatian bagi siapapun yang sedang mempelajari batas pengertian tentang tindak pidana.


[1] Ilham Gunawan dan Syahrani M. Martinus, Kamus Hukum, (Jakarta Restu: Agung, 2002), hal. 411.
[2] Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, 2000, Jakarta, hal. 7.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar